🌚 rmdzn.

Rumah Bom

rumah kecil

Sebuah rumah kecil, kokoh berdiri di persimpangan tusuk sate–tepat di sebelah kebun yang rindang yang setiap siang terik meneriakkan suara gesekan daun kelapa.

“Aku sangat gembira!” teriak Rumah sambil mengajak lampu berdansa. Orang-orang lewat sering merasa aneh karena meski siang hari lampu di rumah itu berkedip-kedip.

“Lampu hentikan! Aku ajak kau berdansa, tidak untuk berkedip-kedip. Tolonglah kita setia pada keputusan Tuan untuk menghemat energi listrik yang harganya terus melambung tingg.”

“Maaf, Rumah, reflek …”

“Tebak, apa yang membuatku gembira lampu?” tanya Rumah.

“Ku tak tahu pasti, yang jelas Tuanku pulang dari sekolah dengan berseri-seri karena nilai ujiannya sangat memuaskan, aku senang telah berguna,” timpal Lampu, rona merah muncul pada sisi tubuhnya.

“Tidak jauh dari itu. Alasan gembiramu merupakan salah satu alasan gembiraku, tetapi alasan utamaku adalah karena Tuanku telah pensiun dari pekerjaannya. Aku pun jadi memiliki waktu bersantai dengan mereka lebih lama.”

“Aku setuju rumah! Tuanku akan lebih sering menuangkan isi perutku ke gelas Tuan Besar dan ngobrol santai tentang kehidupan yang terus berjalan dan berputar,” tutur teko teh dari dapur sambil mengedipkan satu matanya kepada gelas.

Sehari-hari, Rumah memang merasa kesepian, padahal perabot sering bergeremincing dan selalu menghibur bahwa mereka selalu ada untuknya. Namun, Rumah hanya ingin sekali saja menemani sang Tuan.

“Tuan sangat sibuk,” ingat Rumah. “Berangkat subuh, pulang larut malam. Tak sempat bercengkerama, Tuan membersihkan badan lalu tidur. Beruntung, gayung dan kasur pasti sering berbincang dengan Tuan, sedangkan aku hanya bisa melihat. Berbicara pun tidak, apalagi saling berbasa-basi.”

“Tidak betul,” gayung dan kasur menyanggah bersamaan. “Tuan hanya menganggap kami sebagai benda mati, yang hanya dipegang dan ditindih, tanpa pernah diceritakan bagaimana Tuan bekerja hingga larut malam.”

“Tenang, aku kini tidak perlu kecewa dan murung lagi. Bergembiralah, menyambut Tuan!”

Pagi cerah dengan cahaya hangat menyapu teras rumah. Rumah kegirangan, sampai-sampai menimbulkan retak pada pojok pagar saat ia berdansa agak berlebihan.

Sang Tuan bangun pagi, tidak untuk pergi bekerja dan pulang malam, tetapi untuk menyapu lantai dan mengecat beberapa sisi dinding yang terlihat kusam.

“Sepanjang hari ini, Tuan memanjakanku. Aku yakin, kalian juga merasakan hal yang sama. Apa kau setuju Meja?”

“Aku juga merasa begitu, Tuan mengelapku setelah pagi tadi Tuan Kecil menumpahiku dengan segelas susu,” jawab Meja mendayu.

“Bagus!” sahut Rumah dengan semangat.

Sejak pagi sampai malam, Rumah dan perabot saling menceritakan bagaimana mereka menikmati kebersamaan dengan Tuan Besar, Tuan Putri, dan Tuan Kecil.

Hari berganti hari, pekan berganti pekan, suasana tak lagi senyaman sebelumnya. Para Tuan sering cek cok karena masalah sepele. Baju kotor yang tidak segera dicuci, panggilan yang tidak mengenakkan, teriakan nirfaedah yang menyakitkan, dentingan piring, hasad dan iri, gosip, dan lainnya.

“Aku tak paham manusia, mereka merasa tinggi dan menyebalkan. Beberapa pekan lalu, aku senang kita dapat berkumpul bersama Tuan, tetapi apa yang kuharapkan bahwa suasana gembira terus berlanjut tidak pernah terjadi.”

“Semakin ke sini, semakin buruk. Tuan selalu ribut. Klaim yang menyebut manusia adalah makhluk terpintar ternyata tidak selalu benar.”

“Kakek buyut Tuan sangat cerdik. Dia menyisihkan ruang kecil pada dinding saat membangunku. Lampu, lihat di balik tubuhmu, ada tombol kecil berwarna krem menonjol di situ. Berpura-puralah jatuh, lalu pencet tombol itu. Aku akan runtuh dan puing-puingku akan mematikan seluruh penghuninya termasuk kalian.”

Lampu mengangguk. Tiba-tiba Lampu menggoyangkan badan, siap menjatuhkan diri. Tombol pun tersentuh, “klik!”.

Gambar utama: evitaochel

#Cerpen