Hematoma
BOG BOG!!
Suara Pita memukul tembok kamar mandi.
BOG!
Lagi.
Kapan kamu berhenti?
Kala menangis, lumayan lega. Sedikit saja. Kamu kenapa tanya-tanya? Memang peduli?
Untuk menulis kisahmu. Membantumu meringankan beban, katamu.
Terima kasih sudah mau repot. Kamu bukan penulis hebat tapi kepedulianmu bermakna bagiku. Paling tidak, ada orang yang mau dengar.
Selama menyimak hidup Pita bertahun-tahun, ia sebetulnya tidak merepotkan. Bahkan ketika aku menuliskan ini. Aku bahkan tidak terbebani sama sekali. Mungkin hanya berusaha hati-hati agar apa yang kutulis tak melukai dirinya.
Jangan lebay.
Baik. Kamu mau cerita sendiri kenapa kamu suka pukul tembok?
Tidak.
Pita banyak diam, memendam perasaannya sendiri dalam hatinya terdalam. Mirip padi dalam sekam. Aku ingat, dia pernah malu ikut lomba anak-anak. Ibunya langsung marah.
Aku bahkan kaget saat ibuku berbicara pelan tapi menyakitkan.
Pita dibujuk untuk keluar kamar dan bermain dengan anak-anak lain. Tapi Pita terdiam. Dia tidak bilang “tidak mau”. Geleng kepala saja tidak. Pita hanya kaku, duduk di atas tempat tidurnya. Dalam bujukannya, ibu Pita marah, mengolok Pita sebagai “ANAK GENDERUWO!!”.
BLAK! CEKLEK!
Pita dikunci di dalam kamar sampai malam. Tatapannya masih sama. Menerawang tembok di depannya yang putih polos.
Boleh kamu ceritakan saat aku diajari matematika dulu?
Aah, iya aku lupa. Dulu sekali. Saat kelas 2 atau 3 SD, Pita belajar menghitung nilai uang dengan ibunya. Di dalam ruang keluarga. Saat itu mati listrik, Pita belajar dengan sebatang lilin menyala di depannya.
Pita mungkin pintar saat pelajaran bahasa Inggris, tetapi tidak saat pelajaran matematika. Menghitung lima keping koin 100 tambah satu keping koin 500 saja tak bisa. Ibunya yang sedari tadi mengajari Pita lama-lama emosi. “GOBLOK!,” kata ibunya dengan keras.
Pita? Hanya menangis sesenggukan sambil pura-pura terus mengerjakan soal.
Hmmm … aku lupa apakah akhirnya aku bisa mengerjakan soal itu.
Pita aneh sekali. Dia justru melupakan momen keberhasilannya memahami pelajaran hitung-hitungan uang. Tapi malah selalu teringat dengan umpatan “goblok” yang pernah ia dengar.
Dia selalu susah mengutarakan perasaannya kepada orang lain, bahkan kepada orang tuanya sendiri. Pita trauma dengan penghakiman yang kerap ia dengar. Dirinya selalu skeptis bahwa orang yang ia ajak bicara akan paham dengan apa yang dia maksud. Sejak dahulu sampai kini berusia seperempat abad.
Lebih.
Ya, seperempat abad lebih. Puas protesnya?
Kala itu, orang tuanya saling bertengkar. Bapak pergi ke depan rumah, ibunya menggerutu di dalam. Segala pintu dibanting rapat. Pita mangkel. Kenapa cara ribut ini mengganggu? Tidak bisa dibicarakan baik-baik? Saat Pita mengeluarkan saran untuk keduanya tenang dan berpikir jernih. Pita dibentak.
Sepertinya ini jadi awal pukul tembok yang dilakukan Pita. Namun bisa juga saat kejadian lainnya. Pita memukul tiang cor-coran, tak rata. Tangannya lecet. Dengan cara itu, Pita merasa lega.
Mirip menyeset tangan dengan silet. Rasa sakit emosi tersamar dengan rasa sakit sayatan. Begitu juga saat aku memukul barang keras.
Rasa marah juga tersalurkan saat kamu menghentakkan tangan ke tembok?
Iya, benar.
Boleh aku bicara soal kakakmu?
Boleh.
Satu famili yang masih menjadi harapan untuk berbincang dari hati ke hati hanyalah kakaknya. Bincang tentang apapun. Soal canda atau soal keluarga yang serius. Pita harap begitu.
Di kursi kayu samping rumah, Pita pernah bercerita soal studinya yang mandek. Ia bercerita panjang lebar. Kakaknya ternyata menunduk lama. HP digenggam erat. Sibuk dengan pacar yang baru dikenalnya dua bulan lalu. Izinkan aku mewakili perasaan Pita, brengsek betul!
Curhatannya tentang mengapa memukul tembok–
Dan ingin mati.
Hah, kamu bilang begitu? Kok aku tidak tahu?
Aku memang berniat menyembunyikan hal itu darimu. Hebat kan aku?
Oke oke … kulanjutkan–sampai mana tadi? Oiya, tentang mengapa memukul tembok DAN ingin mati tidak dianggap serius. Respon kakaknya cuma “jangan begitu”. Lain hari, kakak Pita dengan bangganya menceritakan kalau adiknya suka memukul tembok saat marah dan ingin mati kepada pasangannya. Ia bilang begitu kepada Pita tanpa rasa bersalah. Lempeng saja.
Aku tidak kaget kalau Pita marah. Tapi, namanya juga Pita, ia lebih memilih menyembunyikan perasaanya. Lagi.
Pita, apakah kamu akan terus-terusan memukul tembok tak bersalah itu?
Tidak juga. Kamu juga sudah tahu kan, aku sekarang lebih rajin menulis di buku hijau toska itu?
Iya. Enam bulan terakhir. Pita memanfaatkan buku suvenir untuk dijadikan jurnal harian. Kecil dan tipis. Setiap dirinya mengalami sesuatu, entah bikin senang, sedih, kecewa, dan apapun yang menguras emosinya, Pita akan menuliskan perasaannya.
Buku menjadi teman terbaiknya–
Dan kamu.
Terima kasih atas komplimennya.
Pita tetap akan memukul tembok saat ia terpantik dengan konflik orang tua; bapak yang tak peduli, ibu yang bergumam sambil membanting pintu. Keduanya yang mencurahkan hatinya kepada Pita dan saling menjelek-jelekkan. Ini menyiksa batinnya.
Mungkin kuulang lagi pertanyaannya, apakah kamu akan terus-terusan memukul tembok tak bersalah itu?
Tergantung.
Kalau aku mati?
Aku juga mati.
[Foto unggulan oleh The Nigmatic di Unsplash]