🌚 rmdzn.

Rapat

Musim benar-benar sudah kacau. Gerimis yang terjadi siang tadi masih turun hingga matahari menelungkupkan diri ke balik tubuh bumi. Sore sempat deras. Lalu gerimis lagi. Dingin.

Suara gedubrak ayam melompat ke atap seng tetangga menyadarkan Tudi yang sedari tadi meletakkan kepalanya di pegangan bangku kayu. Melirik malas ke lembaran kertas di meja tamu.

“Malam ini, ya?” Keluhnya kepada diri sendiri.

Dua lembar undangan putih dengan tanda tangan sekretaris RW Kampung Jogomoco melingkar di bagian pojok. Satu yang ditujukan untuk bapaknya dan satu untuk Tudi.

Hari ini adalah hari penghitungan suara pemilihan ketua RW dan Karang Taruna. Jogomoco merupakan satu dari sekian kampung di Padukuhan Wohjati yang melaksanakan kegiatan ini secara serentak.

Tudi yakin, mayoritas warga kampung akan kembali memilih Pak Rono. Berkah hebat yang didapatkan warga setelah menunggu 20 tahun lebih, tentu tidak akan disia-siakan begitu saja.

Bahkan, pada hampir setiap kesempatan menjelang pemilihan, orang tua Tudi menyampaikan dukungan kuatnya untuk sang petahana.

“Kapan lagi kita bisa diayomi seperti saat ini? Bu Yani tidak mumpuni, apalagi Pak Narto. Pak Jupri? Menutup kuping dari tuntutan warganya. Beruntung, dia ketahuan kena suap. Pabrik itu akhirnya minggat dan semoga tidak berpikir untuk kembali mengambil alih lahan sewenang-wenang dan membabat apa yang sudah diberikan moyang kepada kita.”

Tidak ada yang menyanggah. Pak Rono didukung hampir semua warga Jogomoco.

“Meski hanya Ketua RW, kita bangga dengan kemampuan Pak Rono mengelola kampung kecil ini.”

“Biar pun kampung sebelah mendorong beliau untuk maju Pilkades, kita setuju untuk tidak terburu-buru melepaskannya. Agar kampung ini makin lebih bagus,” tegas dua Ketua RT yang diamini pejabat RT lain.

Tudi juga tak meragukan kinerja Pak Rono. Pun, ia sama sekali tidak mengkhawatirkan hasil pemilihan Ketua RW nanti. Dia sudah memenangkan hati semuanya. Tidak perlu citra buatan seperti petinggi di gedung parlemen dan istana.

Yang menyebabkan kerisauan sedari tadi adalah hasil pemilihan Ketua Taruna Jogo, organisasi Karang Taruna yang baru dibentuk kembali 10 tahun terakhir.

Sudah tiga hari berlalu sejak kertas suara disampaikan ke warga Jogomoco. Dua kertas suara, untuk memilih Ketua RW dan Karang Taruna diberikan kepada pemegang KTP lokal.

Tudi adalah kandidat terkuat. Tidak seperti Pak Rono yang moncer karena kinerjanya bagus, Tudi menjadi calon kuat Ketua Karang Taruna karena … hanya karena … warga menganggap pemuda selain Tudi tidak siap dan tidak mampu melakukannya.

Sebetulnya ada satu sampai empat orang yang dianggap sejajar dengan Tudi, tapi karena mereka sudah melepas masa lajang, peraturan tak tertulis menganggap mereka ada sekaligus tidak ada.

Jika disejajarkan seperti warna, sekelilingnya adalah warna putih, abu-abu pucat, biru muda, sedangkan Tudi berwarna merah menyala.

Apakah Tudi menyukainya?

Tidak juga.

“Di, kamu beneran niat begitu?” Anwar menanyai Tudi sambil mengunyah bakwan gemuk.

Woe, iuh, hati-hati dengan butir jagungmu! Torabika Cappucino dingin satu, A’!”

Siiiiaaappp panjang terdengar dari dapur di balik meja.

“Benar. Kamu dengar bukan, para orang tua Jogomoco sebagian besar ingin memilihku sebagai Ketua ‘Taruna Jogo’? Anak-anaknya jelas mengikuti arahan orang tua mereka. Siapa pula yang mau jadi ketua ketika menjadi anggota saja tidak bertanggung jawab?”

“Aku sebenarnya benci sikap iren. Merasa marah ketika hanya orang itu-itu saja yang bekerja. Terkesan tidak ikhlas, ‘kan? Tapi realistis saja, deh. Memang hanya mereka yang sibuk? Orang tua-orang tua itu benar-benar tak tahu tingkah anak-anaknya.”

Tudi masih mencerocos dengan mulut penuh mie goreng.

“Aku bahkan tidak menyukai AD/ART Karang Taruna buatanmu.”

“HEI! Itu kesepakatan kita bareng-bareng, bukan hanya buatanku. Toh aku cuma meresmikannya ke dalam dokumen tertulis. Praktiknya sudah dilakukan sejak dulu,” semprot Anwar.

“Oke. Fair fair. Mungkin lebih tepatnya aku tidak menyetujui peresmian sikap seperti itu. Bisa-bisanya orang yang baru saja menikah dianggap lebih sibuk dibanding kita yang masih sendiri. Lalu otomatis mengubah mereka menjadi anggota pasif.”

“Orang yang menikah jelas akan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pasangan dan anaknya. Tapi bukan berarti mereka lepas tanggung jawab dari komunitas, dari organisasi yang bergerak di sekitarnya. Setelah menikah, seakan mereka keluar begitu saja dan payahnya orang-orang di kampung tidak menganggapnya sebagai masalah. Jangan pergi dulu, dong. Bantu proses kaderisasinya. Kalau kaderisasi berjalan baik, silakan lanjutkan hidup rumah tangganya”

“Apakah dikira setelah menikah mereka akan tetap bisa fokus pada kehidupannya sendiri? Bukannya mereka akan diundang kembali sebagai ‘bapak ibu RT dan RW’ dengan segala drama keriwehannya?”

Anwar menyodorkan es jeruknya yang hampir habis. “Minum dulu, nih.”

“Makasih, War, kopiku aja belum habis. Anggota-anggotamu tuh. Dahulu mereka getol ingin memiliki organisasi Karang Taruna karena kagum dengan organisasi kampung lain yang terlihat keren dan eksis. Tapi, semenjak organisasi mereka sendiri dibentuk, mereka justru lupa dengan tujuan awal, menjauh. Sibuk dengan kepentingannya sendiri.”

“Kabarnya kamu juga akan dipilih secara aklamasi?” Anwar memegang janggutnya dengan muka serius.

“Ya, rencananya memang begitu. Tapi aku menolak. Aku tak setuju aklamasi, aku ingin tahu secara langsung keinginan warga. Makanya aku kemarin mendorong Pak Sekre agar pemilihan Ketua ‘Taruna Jogo’ tetap pakai proses pemilihan suara sekampung. Dan untungnya beliau setuju. War, nanti bantu aku sebar surat ini, ya?”

“Siap, Komandan!,” teriak Anwar sambil menghormat.

Anwar adalah ketua ‘Taruna Jogo’ yang sudah habis masa periodenya sekaligus teman yang tidak selalu sepakat kala rapat. Malahan pernah hampir bermusuhan. Namun, tentang ini, dia setuju dengan keputusan Tudi.

“Tidak apa-apa kalau niatmu begitu. Tak masalah, Di. Setelah ini, aku jadi bisa fokus dengan diri sendiri. Meniru sikap mereka yang mengaku anggota organisasi tapi tak melakukan apa-apa.”

Seperti yang sudah ditebak. Surono disebut menang telak dan kembali menjadi Ketua RW periode berikutnya. Begitu juga dengan Mahendra Tudi sebagai Ketua Taruna Jogo menggantikan Anwaru Lana.

Rapat malam itu menjadi tegang setelah Tudi membeberkan segala unek-uneknya seperti yang diceritakan kepada Anwar.

“Kepada para anggota Taruna Jogo, kalian tahu alasan saya mengirimkan surat berkolom untuk kalian isi panjang lebar? Ada pesan eksplisit pada pertanyaan yang saya tulis, dan ternyata jawaban kalian terlalu normatif.”

“Saya terlalu bosan dengan ucapan kalian. ‘Menjadi anggota Taruna Jogo sungguh menyenangkan’, ‘saya suka menjadi anggota Taruna Jogo’, ‘Karang taruna harus ada’, blablabla. Klasik. Sikap yang tidak kalian tunjukkan di lapangan,” lanjut Tudi. “Itu juga didukung orang tua kalian yang selalu mementingkan formalitas.”

“Terima kasih sudah memilih saya sebagai ketua periode berikutnya. Dalam organisasi, kisah heroik ada saat pembentukannya. Kisah epik ada saat pembubarannya. Dan kisah membosankan dan berdarah-darah berada di antaranya.”

“Visi saya jelas. Saya hanya ingin membubarkan dan pendapat kalian ternyata menguatkannya. Kalian terlau egois untuk menjadikan organisasi sebagai ajang eksis tanpa benar-benar berusaha untuk menjadi eksis. Saya ingin membangun kisah epik untuk Taruna Jogo, seperti hal sama yang dilakukan bapak pembina tercinta kita belasan tahun lalu.”

“Biarkan pemuda di kampung ini kembali ke khitahnya. Menjadi penyebar undangan dan pelaku sinoman, tidak lebih. Tanpa organisasi yang merumitkan.”

“Terima kasih kepada warga Jogomoco seluruhnya. Saya mohon undur diri.”

Tudi berdiri lalu keluar ruangan tanpa menoleh lagi.

#Cerpen