🌚 rmdzn.

Impulsif

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Sang ustaz menutup kajian. Menundukkan mikrofonnya. Sebagian besar jemaah ikut berdiri, keluar masjid lalu pulang. Lainnya mengambil air wudu kemudian melaksanakan salat duha.
Seperti biasa, saya memilih untuk menyelonjorkan kaki. Menunggu sebentar agar tempat parkir sepi lalu cus pergi.

“Permisi, Mas.”

Seorang bapak berambut keriting, membawa tas tenteng hitam, duduk bertimpuh di samping saya.

“Ada apa pak?” Tanya saya kemudian.

“Begini, Mas,” jawabnya sambil terbata-bata sampai usai cerita. “Maaf kalau mengganggu. Saya tadi menunggu saudara di rumah sakit. Rumah saya di Turi dan saya mau pulang. Ta … tapi … saya tidak punya ongkos.”

Bapak itu menundukkan kepala sebelum melanjutkan ceritanya lagi. “Maaf, Mas. Boleh tidak saya pinjam uang? Besok saya kembalikan. Saya besok di masjid ini lagi.”

Ini sudah bertahun-tahun lalu, pagi di Masjid Mardliyah. Masjid yang berdiri tepat di sebelah RS Sardjito itu.

Saya pergi ke sana hanya ingin ikut kajian. Itu pun seminggu sekali. Seingat saya setiap Rabu atau Kamis pagi. Tidak lebih. Kehadiran seorang bapak yang begitu mendadak jelas mengagetkan saya. Dengan sadar, saya menyerahkan selembar uang 50 ribu dan mengatakan kepada beliau bahwa uang tidak perlu diganti.

Iya, 50 ribu. Tabungan uang saku beberapa minggu. Ludes begitu saja.

Di lain hari. Seorang bapak bertopi merah dan berjaket krem menghentikan saya yang sedang naik motor dan sedang menunggu jalur lambat sepi untuk berbelok ke jalan raya.

“Maaf, Mas. Piyungan arah mana, ya?”

“Oo … arah jalan bapak sudah benar kok, Pak. Arahnya ke sana,” tunjuk saya.

“Terima kasih, Mas.” Bapak itu melanjutkan langkahnya lagi.

Setelah rampung dengan urusan, sampai rumah, saya justru kepikiran. Jarak antara tempat kami bertemu dengan Piyungan begitu jauh. Apalagi kalau jalan kaki. Kisaran butuh 2 jam lebih. Atas dasar ini, saya kembali menghidupkan motor dan menyusuri jalan tadi.

Belum ada setengah kilometer, saya menemukan bapak yang sedang berjalan pelan itu. “Pak, saya antar saja, ya? Jauh soalnya.”

“Tidak apa-apa, Mas? Baiklah kalau begitu.”

Di pertengahan jalan, bapak itu terasa rikuh.

“Maaf, Mas, ngrepoti. Saya sebenarnya mau naik bus. Turun, di sana saja, ya?” Tuturnya sambil menunjuk jalan besar di ujung selatan.

“Oya, Pak. Kalau memang mau naik bus. Ongkosnya ada ‘kan, Pak?”

“Ada, Mas. Tapi, memang pas banget hanya untuk naik bus.”

“Begini saja, Pak. Saya ada uang sedikit. Mohon berkenan untuk menerima ya, Pak.”

“Maaf, sudah merepotkan. Terima kasih, Mas.”

Bapak itu turun di dekat pasar. Jalur yang memang dilewati oleh jurusan bus yang sedang dibutuhkan.

Yang belum lama terjadi. Seorang pemuda menghampiri rumah. Saya hanya mendengar lamat-lamat, pemuda itu berbincang dengan bapak saya. Katanya, gajinya belum turun dan uang untuk membeli beras terus menipis. Ia berminat “menggadaikan” flashdisk-nya seharga 90 ribu saja (dengan alasan, harga belinya dahulu memang sebesar itu), yang akan dikembalikan sewaktu gajinya sudah diterima. Syukur-syukur, kalau flashdisk-nya dibeli.

Tentu karena saya berpikir bahwa memiliki flashdisk lebih dari satu bakal memudahkan hidup, saya putuskan untuk membelinya saja. Dengan menyerahkan selembar 100 ribu tanpa kembalian.

“Terima kasih, Mas. Kapan-kapan saya sowan ke sini lagi.”

Batin saya meraung. Yaelah, gak perlu ke sini lagi, dong. Saya berpikir, pemuda itu ingin membawakan bingkisan atau apa saja sebagai ucapan terima kasih. Saya sudah bahagia, kok. Tak perlu lah begitu-begitu segala.

Selisih beberapa pekan. Pemuda itu memang datang lagi. Tentu saja bukan untuk membawakan bingkisan, kali ini, ia beralasan tidak memiliki uang untuk membayar seragam. Bukan lagi flashdisk yang ingin dia “gadaikan”, tetapi mikrofon karaoke dengan pelantang suara bawaan. “Ini biasa saya pakai untuk ngaji, Mas,” ujarnya.

“Saya bisa bantu,” respon saya kemudian. “Tapi, saya tidak mau beli. Saya beri uangnya, tapi besok jenengan ambil mikrofonnya, ya, Mas. Berapa tadi?”

“150 ribu. Iya, Mas. Tidak apa-apa, besok saya ambil mikrofonnya lagi, uangnya saya kembalikan tanggal 18,” kata pemuda itu sambil memberikan fotokopian SIM. “Ini buat jaminan, Mas.”

Berhari-hari setelah tanggal yang dijanjikan, batang hidung pemuda itu tak juga kelihatan. Saya sudah pasrah mengingat sebelumnya saya cek harga flashdisk dan mikrofon yang saya dapatkan secara daring. Flashdisk dengan merek V-GEN 16GB itu ternyata harganya tak sampai 60 ribu sedangkan mikrofon, harga KW-nya tidak sampai separuhnya dan harga orisinalnya juga selisih cukup banyak.

Bapak saya yang cukup risih dengan kelakuan si pemuda memutuskan untuk mendatangi tempat kerjanya. Malam hari. Setelah ditelusuri, ternyata si pemuda malah sedang bermain di rental PS tidak jauh dari sana. Saat “dilabrak”, lagi-lagi dia menjanjikan akan mengambil lagi mikrofon dan mengembalikan uang esoknya. Tapi, lagi-lagi juga, batang hidung pemuda tak kelihatan. Bak ditelan bumi.

Begitu tidak nyamannya saya membahas kisah ini. Selain saya ingin melupakannya karena, kata simbah-simbah dahulu, “lupakanlah kebaikanmu”, mengingatnya sungguh membuat saya terlihat bodoh.

Saya tidak benar-benar memikirkan dengan matang, apakah orang ini benar-benar membutuhkan atau hanya ingin mengelabui. Saya hanya mentok berpikir, “bagaimana kalau orang-orang ini memang sedang membutuhkan?” atau “saya tak ingin repot-repot bertemu orang baru lagi, jadi yaa, lebih baik uang saya relakan. Dia tak perlu janjian bertemu lagi untuk mengembalikan uang yang diberikan.”

Kebodohan juga terlihat pada niat. Begitu mudahnya membantu secara spontan (tanpa benar-benar menimbang) daripada membantu secara terencana. “Terencana” membuat saya terlalu banyak berpikir dan berakhir tidak melakukannya.

Namun, ini jadi salah satu sifat yang ingin saya pertahankan kini sampai besok. Dengan pengetatan faktor sebagai bahan pertimbangan; harta sendiri, motif “peminjam”, dan lurus tidaknya niat. Oiya, jangan sampai membantu menjadi seimplusif belanja.

Bagaimana?

[Foto oleh karatara dari Pexels]

#Cuap