Suka-suka
Jika saya menyukai sesuatu, saya berusaha menggenggam erat hal itu. Rasa menyukai adalah kemewahan, di tengah sikap apatis, sebal-marah, sedih berlarut-larut. Apalagi di tengah situasi depresif karena sedang terjadi wabah, sekarang ini. Menyukai sesuatu adalah kewarasan itu sendiri.
Saya menyebut “sesuatu”, yang bisa berarti apa saja. Dan perlu diingat, rasa suka lebih sehat bila berjalan fleksibel, tidak kaku. Perlakukan rasa suka secara normal. Jangan sampai rasa tersebut menjadi-jadi hingga pada titik tertentu menimbulkan besetan yang sulit untuk disembuhkan.
Termasuk rasa suka terhadap seseorang. Bukan suka dalam arti sekenanya, tapi lebih dari itu. Suka yang berpotensi menumbuhkan rasa memiliki dengan sangat.
Ironi memang. Kata orang-orang, sambil berkacak pinggang dan menguniversalkan sikap serta menstandarkan dunia perasaan, kita harus memperjuangkan orang yang disukai. Titik. Tetapi ketika perjuangan itu menghasilkan luka, kenapa kita harus repot-repot terus melakukan? Sedangkan terlalu mudah melepaskan seseorang yang disukai dianggap sebagai sikap non-pejuang dan akan dituduh dengan, “kalau sikapmu begitu, kapan dapat pasangan?”.
Yang sedang menyukai siapa, yang berhak merasa pusing siapa. Apakah pihak penyuka tidak diperkenankan menjaga kesehatan dirinya sendiri? Dampak yang ditimbulkan setelah berjuang secara normal dan tak menggebu-gebu bukanlah hal remeh. Ia menyakitkan. Meski mungkin levelnya berbeda daripada para tuan yang dengan gigih mengirim chat saat sibuk dan tak sibuk, melakukan tarik ulur, dan menggombal, ia tetap begitu melelahkan. Bagi psikis dan fisik.
Seorang pemuda tergeletak semalam suntuk. Tidak mati. Hanya tak berdaya. Matanya merem melek. Tidur pun tidak mungkin.
“Kenapa e?,” tanya temannya suatu hari.
Katanya, perempuan yang tidak lama ia dekati pamit tiba-tiba. Sampai-sampai, ia tidak sempat memberi apa-apa kecuali doa terbaik dan lambaian tangan.
Mengingat hidup harus tetap berlangsung, sang pemuda pun beranjak dengan tetap membawa rasa super sesal selama beberapa hari, bahkan beberapa minggu. Tak apa. Yang terjadi terjadilah. Merasakan sedih adalah cara terbaik yang bisa dilakukan, lalu bangkit dengan kepercayaan diri yang baru.
Ini bukan soal menormalkan tindakan ghosting. “Aah, capek. Udahan, ah!”, tanpa bilang-bilang. Bukan. Ini soal usaha untuk menyukai tapi tak ada perkembangan berarti dari pihak yang disuka. Tak ada kemajuan. Kalau memang sudah melelahkan, sudahi saja. Dan siapa pun yang sedang menuntut apa-apa, bahwa kamu dianggap belum berjuang dengan kencang, biarkan saja. Menyerah tak selalu menjadi hal buruk.
Bagaimana bila menyukai barang? Ya sama saja.
Saya tak menampik fakta bahwa nilai barang ada pada harga, kenangan, atau fungsi (bukan dalam konteks barang produktif–untuk bekerja). Nilai yang dimaksud berjiwa personal.
Mirip seperti kesukaan kepada manusia, kesukaan terhadap barang juga perlu sewajarnya. Sisi baik dari menyukai barang adalah ia tak melibatkan dua perasaan. Cukup satu, dan itu kamu.
Caranya bagaimana?
Sebentar.
Mudah … sulit …
… dan klasik.
Yakni, menyadari bahwa semua barang dapat rusak atau hilang. Sehingga tensi perasaan kala itu terjadi tidak meledak, tidak menyalahkan siapa pun yang dirasa bertanggung jawab telah merusak dan menghilangkan. Mempersiapkan diri dengan kehilangan sama dengan meringankan respon terhadap yang akan terjadi kemudian. Jangan sampai setelah mendapatkan kejadian menyakitkan, respon malah membuat diri makin menyakitkan.
Bentuk lain. Jauh sebelum pandemi, kewarasan saya terjaga oleh (salah satunya) buku. Syukur banyak-banyak untuk benda mati berlembar-lembar atau tumpukan teks di atas layar itu.
Tapi, situasi tak terduga terjadi. Beberapa waktu lalu, saya “tidak sengaja” bergabung dengan kelab buku. Jenis grup yang sama sekali tidak pernah saya pikirkan untuk masuki. Di dalam sana, diskusi-diskusi kecil muncul dari para anggota. Sekarang sedang baca apa? Ada rekomendasi buku? Bagaimana ulasannya? Diskusi yang sudah pasti terjadi dan saya anggap seharusnya memang begitu.
Beberapa waktu kemudian, muncul agenda “besar” untuk mendiskusikan judul buku tertentu. Per anggota mengusulkan waktu untuk diskusi bersama, mencocokkan dengan kesibukan-kesibukan dan kesempatan membaca buku yang dimaksud. Hasilnya, diskusi diadakan sebulan lagi.
Katanya, membaca buku adalah pengalaman personal dan intim, sehingga tak layak ketika pembaca buku meremehkan bacaan buku orang lain. Ooh, si X bacaannya buku teenlit, pantes cetek. Si Z tu keren, bacaannya buku-buku Pram.
Saya setuju.
Namun mengapa bergabung dengan kelab buku rasanya seperti dikejar-kejar untuk harus membaca buku tertentu? Entah dengan cara meminjam atau membeli. Tenggat waktu yang secara tak langsung memaksa saya untuk segera mendapatkan buku dan lekas menamatkannya (meskipun sebenarnya tidak harus begitu). Membaca malah justru tak lagi menjadi pengalaman personal. Ia menjadi suatu pemaksaan. Selayak dikejar-kejar target.
Saya menyadari rasa suka bersifat fleksibel. Karena itu, saya menganggap ketidaksukaan saya terhadap kelab buku hanyalah sementara. Siapa tahu setelah tidak sengaja bergabung, saya jadi menyukainya. Entahlah. Anggap saja sedang belajar untuk melakukannya.
Begitulah, Tuan Puan. Satu hal yang dicari dalam rasa menyukai adalah kedamaian, kenapa harus repot-repot menghancurkan dengan usaha-usaha yang tidak menyenangkan? Sukai saja sedapatnya. Menikmati perasaan yang diturunkan kepada manusia sejak turunnya Adam dengan bebas, sadar, tanpa paksaan, dan tidak merugikan.
[Gambar oleh Sarah Richter dari Pixabay]