🌚 rmdzn.

Kenangan

Masa lalu menjadi hal yang mengherankan sekaligus menakutkan. Kala-kala juga menyenangkan. Bisa jadi nirfungsi atau bernilai kecil sampai besar. Pun jika tidak bernilai, masa lalu seperti teka-teki gambar yang saat dipasang ke bidang utama pas atau justru malah miring tak karuan. Dan mau tidak mau, menjadi bagian hidup kita-kita bersama.

Hikmah, kata orang-orang. Atau makna. Nilai. Baru terlihat jauh setelah kepingan hidup itu terjadi berhari-hari sampai bertahun-tahun lalu. Saat berada di masa kini, kita cuma bisa bilang, “oooh, ternyata maksudnya begini”.

Saya memiliki teman SMP, teman sekelas sejak kelas VII. Yang sekaligus juga teman SMA, teman sekelas sejak kelas XI. Fase Menengah Atas, teman satu ini jadi satu-satunya teman perempuan yang hampir rutin “mengajak” SMS-an. Entah tanya tugas, atau ngobrol sedikit acak.

Itu zaman saya masih seculun kukang–yang hanya dapat berjalan pelan sambil tersenyum mengembang, dan sebodoh koala sampai-sampai sungguh merasa tak peka. Perasaan itu baru terpahami bertahun-tahun kemudian. Oiya, ternyata begitu. Kalau pun ternyata kenangan tersebut tidak seperti yang dibayangkan, anggap saja saya ke-GR-an. Kapan lagi bisa merasa seperti itu?

Kenangan itu membuka tabir pandangan saya terhadap romansa. Saya kali ini mungkin tidak akan sedingin Rangga atau pun sepeka Do Jae Jin1 , tapi setidaknya … lumayan lah. Percaya saja, kenangan itu menjadi titik pemantik saya terhadap rasa peka.

Pemantik yang saya maksud bukan seperti korek atau saklar lampu, tapi lebih mirip seperti pir bolpoin yang pernah saya masukkan ke colokan listrik. Ada traumanya.

Dulu sekali–pun pernah saya sampaikan di cuapan sebelumnya, saya adalah “penyuka” gambar tubuh membonjrot. Juga yang terobek mengerikan karena benda tajam. Kadang yang teriris atau yang mengeluarkan batangan putih mencuat. “Hiburan” itu saya temukan di salah satu forum lokal yang pernah menjadi raksasa daring di negeri ini.

Saya kapok.

Terlalu sering melihat hal-hal seperti itu ternyata memberikan efek negatif ke pikiran dan hati saya. Simpati hilang. Empati luntur. Matamu seperti terpapar cahaya monitor selama berjam-jam berhari-hari, keluar kamar langsung blero, minus bertambah, tapi tidak sadar. Dan baru sadar ketika bepergian malam atau melihat kawan bermuka rata mendada dari jarak jauh.

Percaya atau tidak, efek itu juga berlaku ketika saya terpapar banyak berita dari negeri seberang. Korban-korban perang dari kalangan sipil. Gambar jenazah yang dikeluarkan dari puing-puing, yang “sekadar” tertutup debu atau yang hampir hancur. Juga pada gambar yang terluka besar karena bom dan tembakan.

Saya sebetulnya ingin meningkatkan kepedulian, ternyata malah sebaliknya. Gambar-gambar itu justru seperti baliho iklan. Tidak perlu dicari, langsung terlihat di mata. Tidak lagi “spesial”. Dan justru mengurangi kepedulian saya terhadap narasi yang disampaikan dalam konten yang membawa si gambar. Dan itu menjadi red flag buat perasaan saya, seperti sensor api yang meraung dalam gudang karena muncul titik panas.

Udah gak bener, nih.

Supaya titik panas menghilang, saya harus menyemprotnya dengan air atau busa pemadam. Kemudian membebaskan panas dari dalam sana dengan menambah ventilasi udara.

Karena itu, saya sudah sangat lama menghindari potret jenazah rusak. Yes, potret-potret jenazah kecelakaan atau karena hal lain yang biasa diunggah di media sosial, status WhatsApp dan kanca-kancanya. Selain karena ia mampu mengurangi rasa empati saya, orang-orang itu juga kenapa dah unggah-unggah foto tak perlu. Biar terlihat selalu tahu kabar terbaru dan keren begitu, atau sekadar menjadikannya hiburan? Ngaa … kau-kau bikin jijik, saya jadi pengen nendang kepala kau-kau sekalian.

Lalu, hadirlah pandemi! Situasi yang sama sekali tidak disukai oleh siapa pun. Termasuk kamu. Berita-berita penularan, kesakitan, bahkan kematian menjadi seperti kepala berita setiap media.

Potret jenazah rusak yang disebar di luar sana seatmosfer dengan angka jumlah kematian yang muncul setiap harinya. Ini yang menakutkan, orang-orang menjadi seperti kebal terhadap berita k e m a t i a n.

Berbeda dengan unggahan foto jenazah rusak yang hanya dilakukan segelintir orang, angka-angka kematian akibat penyakit baru mau tidak mau menyisip lewat berita. Di koran cetak dan daring, media sosial, internet, dan tempat lainnya. Dan terekam di alam bawah sadar.

Kematian seperti hal biasa saja. Ya, ia memang biasa, tetapi seharusnya menjadi tragedi ketika terjadi secara masif. Besar-besaran. Ini bukan lagi tentang “tidak mau lagi menerima berita tentang ini itu”, tetapi cara kita menghadapinya, cara mengendalikan diri (ini sepertinya cocok dibahas di cuapan berikutnya).

Soal angka-angka kematian, apa yang kamu dengar dari penguasa mau pun pendengungnya?

“Persentase angka kematian di Indonesia relatif lebih rendah daripada negara lain.”

Hanya kardus bekas mie instan yang sudah bolak-balik terkena pipis tikus dan teronggok di gudang yang menyederhanakan penanganan pandemi lebih unggul karena persentase kematian kecil.

Jika kematian satu orang populer menjadi tragedi, kematian puluhan, ratusan, ribuan orang-orang biasa seharusnya juga diperlakukan dengan cara sama.

Mereka manusia. Mereka juga ada yang menyayangi. Mereka anak dari bapak ibu. Mereka bapak ibu dari anak. Mereka suami dari istri dan sebaliknya. Mereka yang dicintai orang lain.

Sulit sekali menyaksikan ketakutan terhadap hilangnya empati lambat laun mengalun masuk ke pikiran orang-orang. Populer pula. Pengurus negara pula. Bangsat sebangsatnya.

Hanya ucapan amit-amit yang dapat saya haturkan saat ini.

Dan semoga hari ini menjadi kenangan yang membesarkan dan menguatkan. Hari ini, yang berarti masa lalu di kemudian hari, menjadi kanal empati yang tidak akan luntur, dan kepingan yang sangat pas ditempelkan pada bidang teka-teki gambar.


  1. Karakter dalam drama My Roommate is A Gumiho.

[Foto oleh Kaboompics .com dari Pexels]

#Cuap