Bertualang dengan Manjali dan Cakrabirawa
Tepat setelah selesai membaca Bilangan Fu saya penasaran, apakah buku tersebut memiliki lanjutan. Daan, ternyata ada. Bilangan Fu adalah kisah trilogi dengan judul keduanya Manjali dan Cakrabirawa.
Siapa Manjali? Siapa Cakrabirawa? Pertanyaannya terlalu tergesa-gesa pemirsaaa. Sebentar. Tunggu dulu.
Jarak baca saya antara Bilangan Fu dan Manjali dan Cakrabirawa cukup lama, bikin saya lupa bagaimana akhiran novel pertama. Membaca buku trilogi, tetralogi, dan logi-logi lain secara tidak langsung memaksa saya mengingat dan menyambungkannya. Dan itu sungguh melelahkan. Untungnya tak perlu banyak cerita yang saya ingat dari buku pertama, yang perlu diingat hanya kisah lingkaran kecil tokoh utama dan nama-nama tokoh lainnya. Iya, novel ini bukan seperti Supernova atau novel serial lain yang satu sama lain memiliki hubungan.
Masih seperti Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa menjadi tempat kritik sosial yang luar biasa. Lewat Parang Jati dengan pengetahuan yang dimilikinya. Termasuk ketika ia menyindir militer yang gegayaan. Bayangkan, saya mulai membaca novel ini bulan September dan memang bahasan utama dari sang buku adalah “peringatan gerakan 30 September”.
Sebagai buku yang menggambarkan spiritualisme kritis, ia semakin ramai dengan tokoh baru yang membandingkannya dengan sains. "Seorang ilmuwan tidak boleh mempercayai apapun." … "Iman, seperti cinta, bekerja dengan ketidakterbatasan. Tapi sains, seperti logika, bekerja dengan batasan-batasan." (hal. 16).
Di sampingnya, kritik sosial yang begitu kuat. Seperti saat penceritaan protes "stigma buruk terhadap haid" pada adegan Marja yang takut sekaligus mangkel karena haidnya dianggap kotor (hal. 129). Rasa frustrasi Marja terpampang di sini, mengajak pembacanya untuk merasakan hal serupa.
Ia tak pernah merasa sekotor ini. Ia tak pernah merasa serendah ini. Seterpinggir ini. Sebersalah ini. (hal. 131)
Ia seperti manusia kusta. Ia merasa hina, tak rela, tak berdaya. (hal. 129)
Salah satu penggunaan bahasa yang unik dalam Manjali dan Cakrabirawa adalah peringkasan kata ulang. Yaa, seperti, kekitab yang berarti kitab-kitab (hal. 124) dan cecabang yang berarti cabang-cabang (hal. 36). Sangat tidak umum, tapi malah terkesan visioner – menggambarkan kata-kata populer kekinian seperti tetiba, gegara, dll.
Baru kali ini mendapatkan bacaan yang pengisahan adegannya begitu deskriptif di luar novel Ernest Hemingway (bahan baca saya masih kurang memang, haha). Seperti ini: Parang Jati bertanya apakah Marja baik-baik saja, sebab gadis itu kini begitu pendiam. Marja menjawab, ia sedang agak sedih. Parang Jati bertanya apakah ia rindu Yuda. Marja menjawab ya. (hal .133). Ceritanya juga begitu kaya dengan kisah orang lain yang dipaparkan selayak subbab tersendiri. Seperti cerpen terpisah. Tetapi kamu tetap tahu bahwa cerita tersebut adalah cerita orang lain.
Si buku membuatmu belajar sejarah dan kepercayaan. Manjali dan Cakrabirawa bukanlah novel yang dapat dibaca sambil santai banget atau sambil terkantuk-terkantuk. Ia bikin banyak berpikir. Serunya, ia mampu membungkus printilan sejarah seperti benar-benar pernah terjadi. Otakmu bakal penuh, tapi menyenangkan.
Dalam goresan lain. Saya seperti ditarik ke dalam situasi misteri. Yang saya tidak tahu bakal dibawa ke mana. Kamu seperti sedang dipaksa menebak, tapi pasti selalu gagal. Dengan "pace"-nya yang menjebak, kadang normal, kadang cepat – dari membahas candi sampai tiba-tiba membahas pembalut. Di sisi lain, dipikir-pikir, kamu perlu memiliki makrifat yang tinggi untuk memahami konsep nilai yang disampaikan buku Manjali dan Cakrabirawa. Edan. Tentang Bilangan Hu terutama. Cukup mudah dicerna sebetulnya, tapi untuk menyampaikan kembali rasa paham saya dalam sebuah tulisan itulah yang menyulitkan.
Apakah buku ini layak kamu baca setelah Bilangan Fu? Layak, jika kamu ingin menambah wawasan lain, dengan tokoh dan nilai yang sama. Lalu siapa Manjali? Siapa Cakrabirawa? Naah … soal itu, sila baca sendiri novelnya.
Judul: Manjali dan Cakrabirawa
Penulis: Ayu Utami
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal : x + 252