Memburu Bangku Bengong dan Bangku Baca
"Kalau kamu sedang banyak capek atau penuh pikiran, pilih ke mana?"
Pertanyaan ini pernah saya lontarkan kepada teman dan kenalan. Jawabnya beragam. Namun, bila orang lain melontarkan pertanyaan itu kepada saya, jawabannya cukup mudah. Saya akan memilih ngendhog di rumah atau duduk di bangku depan minimarket – tentu saja dengan buku di tangan.
Sebagai orang Jogja (baca: Sleman dan sekitarnya), saya sebal dengan kurangnya ruang publik. Sangat kurang sekali. Ruang publik yang saya maksud adalah ruang yang memang diciptakan sebagai tempat untuk berkumpul dan beraktivitas masyarakat, lengkap dengan fasilitasnya, mudah diakses, bersih, dan tak perlu birokrasi untuk masuk ke sana. Bukan pinggir kali, pinggir selokan, atau titik-titik yang sekadar latar kosong yang dapat dijadikan tempat duduk.
Titik-titik ruang publik di sini dapat dihitung dengan jari. Wisdom Park UGM, mana lagi? Taman di lapangan Denggung, boleeh. Perpustakaan yang buka dengan jam terbatas itu? Aneh. Kursi penonton di lapangan Klebengan? Bisa jadi.
Bingung, kan?
Saya termasuk pemburu ruang publik, walaupun bukan sepemburu itu. Niatnya untuk mencari tempat membaca yang nyaman. Dengan syarat utama: tidak begitu jauh dari rumah supaya saya bisa sering ke sana, dan bisa cus pulang cepat kapan saja.
Pada masa awal saya mengikuti acara baca bareng bersama @reviewgabut, saya cukup menikmati lapangan Klebengan. Bukan tepat di tengah lapangan, tetapi di bangku penonton. Cukup nyaman. Apalagi ada payon-nya, panas tak masalah, apalagi hujan, tetap aman. Namun, pernah suatu kali lokasi tersebut sedang digunakan untuk lomba drumben anak TK, jadilah kami yang saat itu bertiga pindah ke pendopo di bagian baratnya. Haha. Dan itu masih cukup nyaman. Di sini nilai plusnya adalah sebelah masjid, warung kelontong, penjual cilok, dan beberapa jajanan lain.
Berikutnya adalah lapangan depan Kalurahan Wedomartani. Cukup acak sebetulnya. Saya mencoba tempat ini karena menjadi jalur yang tiap hari dilewati saat berangkat dan pulang kerja. Membawa jajanan dari toko swalayan GMT kemudian duduk di bagian timur mepet lapangan di bawah pohon.
Tak begitu nyaman. Selain karena semut-semut yang muncul berbaris dari bawah, yang saya duduki bukanlah kursi atau tempat yang memang nyaman untuk menjadi tempat duduk. Alhasil, duduk di sana justru membuat badan gatal dan pantat atau tubuh bagian bawah pegal.
Ruang publik paling nyaman yang pernah saya sambangi adalah Wisdom Park UGM (Taman Kearifan UGM). Pertama kali ke sana saat mengikuti acara BBJ (bagian dari Silent Book Club) di sisi Amphitheatre. Rindang. Asyik sebagai tempat membaca cukup lama. Minusnya, selokan di tengah itu baunya tidak enak jika sikon sedang kering-keringnya. Minusnya lagi, ia cukup jauh dari rumah dan aksesnya sangat jauh jika akhir pekan (harus masuk melewati bundaran dan bulevar UGM).
Pengalaman di Wisdom Park UGM cukup membantu saya berpikir lebih optimis terhadap Jogja. Namun, saat kembali bengong di suatu tempat baru, saya kembali mangkel: tempat bersantai di Jogja justru bukan didominasi oleh fasilitas pemerintah, yang gratis dan mudah diakses, tetapi didominasi oleh swasta alias ruang bisnis.
Demi mencari lokasi untuk bengong dan membaca buku dengan nyaman, saya pun berburu ruang bisnis. Burjo (Warmindo) menjadi salah satu rujukan. Tiga tempat yang pernah saya kunjungi adalah burjo di Sambego, Tajem, dan Pugeran.
Secara umum memang menyenangkan. Dengan modal es kopi senilai 4.000-5.000 rupiah, saya bisa berjam-jam membaca koran dan buku di kursi kayu panjang dan diiringi angin sepoi.
Itu kalau cukup sepi atau hanya satu dua saja pengunjung – pekerja yang duduk tenang sepulang atau serehat kerja.
Kalau ramai, burjo menjadi tempat nongkrong "senormalnya". Penuh asap rokok, teriakan misuh dan candaan sekelompok bermain game moba yang toksik, atau obrolan saru. Situasi yang tak nyaman yang membuat saya memilih untuk mencari titik baru.
Pergilah saya ke bangku minimarket. Kamu ingat meme seputar perpaduan kopi Golda dan bangku Indomaret? Nah, kurang lebih begitu. Tapi, jujur, saya lebih menyukai bangku Alfamart. Kursi panjang yang tersambung dengan meja. Sayangnya, tidak semua Alfamart menyediakan kursi serupa, kebanyakan yang memiliki lahan depan yang luas.
Berikutnya Circle K Korner (selanjutnya akan saya sebut "Korner" saja). Iya, itu. Bagian usaha Circle K sebagai kompetitor Indomaret Point, Alfamart Bean Spot, dan Lawson. Saya belum pernah ke Point mau pun Lawson, tetapi Korner cukup memberi gambaran secara umum cara toserba dengan kafe bekerja.
Secara umum, Korner sebetulnya tidak begitu favorit. Namun, pertama ke sana, saya langsung menemukan tempat yang paling tepat. Di Korner Nusa Indah, Condongcatur. Ia menyediakan bangku dan meja di dalam daripada cabang lain yang hanya menyediakannya di luar – yang, lagi-lagi, terkadang penuh dengan asap rokok atau vapor.
Wifi cukup cepat meskipun buat saya itu tidak begitu penting. Ruang cukup dingin, enak saat di luar sedang panas-panasnya. Tersedia stop kontak, cocok jika ingin men-charge ponsel mau pun laptop. Dengan lingkungan yang senyaman itu, cocoklah Korner menjadi bangku baca sekaligus bangku bengong saya. Minusnya, terkadang latar suara cukup mengagetkan dan menganggu; suara stok es batu seplastik besar yang dituang oleh pramuniaga dan notifikasi aplikasi Shopee berulang kali.
Meski sudah ada tempat langganan menyenangkan, bukan berarti saya berhenti mencari bangku baca dan bengong lainnya. Saya pun menemukan bangku di minimarket kecil nonnirlaba yang nyaman, dekat rumah, dekat tempat kerja. Ada juga semacam kedai Coklat kecil, yang sayangnya sekarang sudah tutup.
Kebetulan baru kemarin saya mengikuti baca bareng di Taman Randu Alas UNY. Lumayan nyaman. Dan saya kembali berpikir, kapan Jogja memiliki lebih banyak ruang publik seperti ini? Yang tersedia bebas, bukan di dalam komplek kampus. Yang tidak perlu bikin pekewuh, yang tidak perlu BELI INI ITU EGEE.