Titis
Panasnya minta ampun. Padahal ini adalah musim hujan yang sangat dirindukan semua orang. Eh, tidak juga sih, aku yang sebetulnya merindukan banyak-banyak.
Ada momen stagnan yang menyenangkan setiap kali turun hujan. Aku seperti mendapatkan perhatian berlebih, apalagi saat musim hujan begini. Yang kuharapkan adalah hujan deras sesering mungkin sehing–
“Gerah!”
Pria berkemeja putih mendekati sudut tempatku berdiri sambil menghadapkan kepalanya ke pria lain yang sedang mengikuti. Mereka membuyarkan lamunanku.
“Bisa-bisanya, kemarin mendung gelap. Hujan deras. Sekarang panasnya kayak di warung Pak Giyas favoritmu itu. Edan!”
Pria itu sekejap melirik kepadaku kemudian melambaikan tangan dan mengajak rekannya bergegas pergi.
Hah. Begitulah dunia. Setidaknya aku bisa tersenyum sedikit di tengah situasi anomali seperti saat ini. Tidak apa-apa pandangan menyipit itu terlempar ke arahku daripada dia melotot memandang tangannya sendiri.
Kalau pas terik begini, orang hanya akan lewat sebentar. Jarang sekali mereka duduk seperti pria tadi. Meski begitu, yaaa aku tetap menikmatinya.
Pernah suatu kali, lelaki yang masih berseragam sekolah lengkap tergopoh-gopoh berlari ke arahku. Dia langsung menyender ke belakang tembok dan menyulut sebatang rokok yang sepertinya dibeli dari warung sebelah. Asapnya mengepul, memaksaku ikut membaui. “Hmm, kretek.”
Bau yang juga mengingatkanku pada dua orang pasangan pagi lalu. Tiba-tiba mereka berteriak saling menyalahkan. Pria itu bersungut-sungut, mengucapkan kata tidak senonoh kepada lawan bicaranya.
“KEMARIN KUTEMUKAN BAU ROKOK TAK BIASA DI BAJUMU! ROKOK SIAPA ITU??! JALANG KAU!”
Jejakan sang pria menggetarkan tempatku berdiri.
“MEMANG KENAPA?” Teriak sang wanita sambil mengerling ke arahku. “AKU TAHU, KEMARIN KAU BAU ‘CK’. KITA BAHKAN TAK PERNAH MEMBELI ITU! LEBIH BAIK AKU KE NERAKA DARIPADA TERUS-TERUSAN BERSAMAMU. BAJINGAN!”
Ketegangan itu membuatku lelah. Seperti menonton drama, aku merasa harus mendukung salah satu pihak. Cih, tentu aku akan memilih wanita itu. Ia tak memaksa ruang di sekitarnya untuk ikut merasakan kebencian yang dia alami. Lihat, rontokan semut yang muncul dari atas itu saat si pria menendang balok kayu tak bersalah keras-keras.
Favoritku adalah seorang bapak yang setiap siang duduk di sini. Baik saat panas-panasnya atau hujan lumayan deras. Penjual cilok yang gerobaknya diparkir di samping. Meski ia tak pernah melihatku, aku hafal wajah yang sering terlihat saat terbaring lelah.
Sejujurnya, aku cinta hujan saat musim hujan, hujan yang relatif lebih lama, karena orang-orang dengan wajah cemas hanya akan fokus pada dirinya sendiri sambil melirik-lirik ke arahku.
Tapi itu fleksibel. Kalau hujannya deras dengan petir menyambar-nyambar, diam adalah jalan ninja mereka untuk menikmati sisa hari yang tersaji.
Tapi tak salah juga kalau cuaca sepanas ini melanda, kesibukan orang-orang mampir menjadi hiburan tersendiri. Kecuali jika kesibukan orang itu bikin telinga berdenging, yang memaksaku untuk bergerak sebagai bentuk protes.
Bukan saat panas sih, tapi suatu hari segerombol anak kecil datang ke sini. Pulang dari salat Subuh saat bulan puasa. Sambil bercanda mereka menyulut petasan dengan diameter yang lumayan besar.
“DUAR!!!”
Gumpalan percikan, oo tidak, sebatang kembang api disulut bersamaan dengannya. Benda terbakar itu melesat ke arahku dan hampir menabrakku. Aku yang kaget reflek menggoyangkan tubuh. Anak-anak itu segera berlari pergi sambil tertawa lepas.
Aku ingin bergerak selincah mereka. Minimal, supaya dapat mengejar lalu melempari mereka dengan tahi-tahi cicak yang terkumpul di pojok bangunan ini.
Sejak lahir, aku menikmati menjadi makhluk pasif. Itu seperti anugerah tiada tara yang kualami setelah hidup terkatung-katung di hutan Borneo lalu dilahap macan tutul. Bayangkan, dahulu aku berlarian ke sana kemari antara mencari makan untuk bertahan hidup atau menunggu disantap predator, sekarang aku hanya menempelkan diri di dinding.
Sebenarnya bagaimana semesta ini bekerja?
Itulah pertanyaan yang kuajukan saat aku berjalan pelan dan mendongak tetapi tak sadar ada satu ekor macan mengintai dari balik potongan Pohon Ulin yang roboh. Iya, seingatku satu–tapi aku sempat melihat tiga buah kelebatan sebelum leherku dikoyak dan perutku dicabik-cabik.
Pertanyaan sama yang kupikirkan saat ini setelah cukup lama terbangun kembali menjadi seonggok barang bundar. Dengan 12 angka. Tiga jarum. Dan menggantungkan hidup pada manusia untuk mengganti nyawa dengan baterai baru.
Pertanyaan terkutuk. Gerak jarumku mulai melambat. Ah, bangsat, aku mati lagi.
Mati lagi.
Mati.
La… .
[Foto oleh Sam Forson dari Pexels]