Membaca 'Takhta'
Cukup melihat sekilas "rak" buku di balik laptop yang saya hadapi, hanya ada satu buku komik. Buku Doraemon yang dulu didapatkan bekas, bukan beli baru.
Di situ, kebanyakan novel, novela, cerpen, kumpulan esai, dan buku pengembangan diri. Komik bukan prioritas bacaan, kecuali yang pernah dibeli mas sendiri tahunan lalu. Ada Crayon Shinchan, Doraemon, dan volume terakhir Dragon Ball Z–itu pun bukan di "rak" yang saya sebutkan sebelumnya.
Karena dia lebih tertarik dengan komik, saya akhirnya juga ikut mulai mengikuti komik-komik lokal yang dia baca, terutama Setan Jalanan dan Jitu (kalau sempat, saya juga ingin mengulas keduanya, deh).
Baru saja–tidak benar baru saja, sih, tapi beberapa waktu lalu, saya mulai melirik komik Takhta. Bukan komik fisik, tetapi komik digital yang dirilis melalui KaryaKarsa, platform lokal seperti Patreon. Takhta menjadi komik lokal pertama yang saya beli dan baca sesuai keinginan saya (setelah komik Petruk dan DreadOut). Serta komik digital legal yang saya niatkan peroleh sendiri.
Takhta merupakan judul komik alias cerita bergambar (cergam) yang dikerjakan DARK MATTER, label baru KOSMIK. Tak asing dengan "KOSMIK"? Ya, itu, majalah komik populer yang akhirnya berhenti terbit 2017 lalu.
Cerita Takhta sendiri ditulis oleh Kathrinna Rakhmavika (Nana) dan digambar oleh Kello Rayder.
Oke, cuss.
Ketertarikan terhadap Takhta malah bukan karena topik si komik. Saya baru sadar topik komik ketika membaca tengah-tengah chapter-chapter awal. Tentang perebutan kekuasaan, intrik, demokrasi, … alias tentang politik. Justru, awalnya saya tertarik karena penggambaran tokoh berambut ikal dengan jaket oranye. Menatap licik ke depan dengan bidak catur di depannya.
Apakah komik ini benar-benar menarik??
Gass. Saya bukan pengikut Takhta sejak mulai rilis bulan Juni 2021–baru mulai baca bulan Maret 2022. Tapi, karena rilis setiap chapter memang tak secepat manga-manga Jepang di Shonen Jump, ketinggalan dapat terkejar. Tepatnya saya hanya tertinggal 21 chapter.
Oiya, saya berusaha keras untuk tidak menyampaikan bocoran (spoiler) cerita di sini. Semoga bisaa~~
Untuk membaca Takhta, saya harus merelakan segala pikiran logis yang dipunyai. Nikmati saja poin atau nilai pokok yang disampaikan dalam cerita. Saya mungkin terdengar konyol, tetapi jika ada yang melakukan hal sebaliknya, maka bisa saja bikin otak meledak.
"Kok, gini?"
"Sempet ginian juga?"
"Lah?"
Takhta unggul pada kisah intinya. Karakter setiap tokoh. Plot. Konflik. Dan simbol-simbol. Namun, tidak pada detail cerita. Misal, kejadian satu yang menyebabkan kejadian berikutnya sebetulnya dapat dikembangkan, tetapi penulis lebih memilih untuk langsung melompatkan cerita ke intinya.
Politik yang dibawa Takhta pun tak begitu rumit. Meskipun isu-isu yang disampaikan menyentil isu kekuasaan pemerintahan, ia tak sekompleks itu.
Satu yang saya sukai adalah pengisahan kilas balik. Pas banget peletakannya. Contohnya saat pengisahan masa lalu tokoh Waru dan Satria.
Saya tidak tahu, ada tidakkah tema cerita serupa Takhta di komik-komik lokal lain. Yang pasti, baru Takhta ini yang saya temukan. Ia memberi kesegaran setelah membaca komik-komik lokal bergenre laga–penuh kekerasan, darah, peluru, dan cacian.
Oiya, karena komik ini belum berakhir, bisa saja ulasan ini bertambah di masa mendatang, atau bisa saja justru tak ada perubahan apa-apa.
Let's go, menunggu chapter baru!