Berkawan dengan Ketidaknyamanan
"Apa yang jenengan persiapkan untuk bekerja di tempat ini?"
Begitu pertanyaan petinggi sebuah perusahaan kepada saya beberapa bulan lalu.
Banyak hal, batin saya. Tapi bukan itu yang keluar dari mulut, melainkan "mental".
"Mental, Bu," kata saya sambil memandang penanya lekat setelah menerawang eternit sepersekian detik, lalu merincinya sedikit demi sedikit. Tentu itu sebuah jawaban abstrak dan tidak saya sarankan kepada orang lain untuk mengungkapkan hal yang sama.
Mental untuk berani mengubah ritme hidup adalah tantangan tersendiri. Sekecil apa pun polanya. Dan itu sungguh tidak nyaman. Jawaban itulah yang saya sampaikan paling tulus dari sekian jawaban pertanyaan lain.
Ini bukan tentang "keluar dari zona nyaman" yang digaungkan oleh orang yang-apa-apa-harus-berpikir-positif dan semangat-terus. "Keluar dari zona nyaman" yang berarti ketika hidupmu baik-baik saja, terasa aman dan tenteram, lalu diminta untuk keluar darinya agar hidup lebih tertantang dan bermartabat.
BERISIK!!
Bukan itu. Di mana-mana orang mencari keamanan dan kenyamanan hidup, eh … giliran sudah mendapatkannya disuruh mencari sesuatu yang menantang lalu bikin hidup balik deg-deg-an rusuh.
Prinsip untuk tetap berada di zona nyaman yang saya sampaikan bukanlah prinsip gebyah uyah. Karena "zona nyaman" sendiri mudah diperdebatkan. Banyak sekali variabel di situ. Subjektif, terkait dengan bagaimana seseorang hidup dan bersosialisasi dengan lingkungannya.
Kenapa subjektif? Saat hidupmu sekarang terasa nyaman, tetapi dengan kalkulasi ini itu ternyata banyak hal pada diri sendiri yang bakal mengusik kehidupanmu kelak, maka hidupmu kini hanya nyaman semu. Secara teori "keluar dari zona nyaman" tidak berlaku, karena pada dasarnya hidupmu sendiri belum nyaman.
Saya tak berminat membahas "zona nyaman" itu panjang-panjang, tapi saya menebak, hampir setiap hari manusia menemukan ketidaknyamanan. Yang memacu kelelahan terus-terusan. Dalam titik tertentu, bikin sedih dan nglokro. Benar-benar bikin seharian tidak mau beraktivitas.
Supaya tidak ada kejadian serupa atau setidaknya menurunkan tingkat keparahan jika mengalaminya, bagaimana kalau membiasakan diri dengan ketidaknyamanan, biar nyaman?
Ironi banget, ya?
Agar nyaman dengan hawa panas, maka sedari sekarang membiasakan diri untuk "berjemur" di bawah sinar matahari, dan seminimal mungkin terkena paparan AC atau kipas angin. Agar nyaman dengan betis yang pegal karena jalan kaki atau menggenjot pedal, maka sedari kini membiasakan diri untuk jalan kaki atau bersepeda ke tempat-tempat yang dekat. Agar nyaman dengan alas tidur secukupnya, maka biasakan diri tidur di alas tikar atau kasur kapuk biasa.
Pada dasarnya, tubuh manusia berevolusi. Dia akan menyesuaikan diri dengan kebiasaan pemiliknya. Seperti otot yang terlatih fitnes atau mengangkat beban besar akan rusak tapi kemudian terbentuk lebih kuat dan tebal. Pada awalnya hanya sekali dua kali angkat galon air, kemudian bisep meradang. Seterusnya dan seterusnya, akhirnya bolak-balik angkat galon air lima sampai sepuluh kali pun bukan lagi halangan.
Begitu juga pada mental, membiasakan diri untuk merasa tidak nyaman dapat menjadi ancang-ancang jika sewaktu-waktu mengalami ketidaknyaman nyata. Ketidaknyamanan menjadi samar dan lambat laun menjadi kenyamanan baru.
Seseorang bercerita. Kala status pandemi tersiar, dia yang begitu nyaman bergerak – fisik maupun pikiran – terpaksa berdiam diri di rumah. Dari yang semula berkelana ke mana-mana dan mengurus acara apa saja. Ke luar kota, ke pulau seberang, sampai berkeliling nusantara. Meneliti capung dan kupu-kupu di desa-desa sampai mengurus festival rutin tahunan. Mau tidak mau menurunkan bahkan menyetop total frekuensi kegiatannya.
Ketika dua tahun kemudian ia bercerita bahwa hidupnya sudah terbiasa dengan itu, saya tahu, dia sudah berhasil merangkul ketidaknyamanannya. Dan saya ikut senang mendengarnya. Kini, saat pandemi di Indonesia mereda, dia kembali sibuk dengan segala kegiatan baru maupun yang sempat tertunda lama. Kembali ke situasi nyaman yang bertahun-tahun sudah digelutinya.
Tidak semua orang mampu menyapa dan bercengkerama dengan ketidaknyamanan. Namun, seperti contoh yang sudah-sudah, kamu sebetulnya dapat melakukannya. Bukan cuma investasi kripto, emas, maupun saham yang menarik untuk masa depan, investasi mental untuk mendapatkan manfaat hidup yang lebih baik pun tidak kalah memesona.
Tidak percaya? Coba saja.
Jadi, bagaimana, apakah kini sudah merangkul rasa tidak nyamanmu?
[Gambar oleh Darkmoon Art dari Pixabay]