Polah Totto-chan dan Lika-Liku Bahan Ajar
Totto-chan menjadi buku bekas (preloved) pertama yang saya dapatkan. Lumayan, versi hardcover yang dibandingkan dengan harga baru bisa hampir dua kali lipatnya.
Totto-chan adalah nama seorang anak, Tetsuko Kuroyanagi, yang juga adalah sang penulis buku itu sendiri. Sebenarnya Tetsuko-chan–Tetsuko dengan honorifik chan. Tapi dengan dialek kanak-kanaknya, ia menjadi Totto-chan. Nama yang keterusan disebutkan saat memperkenalkan diri.
Mengingat waktu-waktu lalu, ketika saya masih menjadikan Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela sebagai salah satu buku dalam daftar yang mau dibaca, ia terkesan seperti buku anak-anak. Atau buku umum tapi menceritakan petualangan seorang anak. Dugaan yang satengah benar, setengahnya salah.
Anak kecil ngglidhik–cerdas bukan nakal. Pengin tahu apa saja, ceriwis. Dan selalu bertindak sesuai keinginannya sendiri. Ia mengingatkan saya pada anak kecil yang sepintas menyebalkan, tapi memiliki potensi dapat diajak komunikasi dengan baik sedari dini. Seperti yang dirasakan oleh kepala sekolah Tomoe Gakuen, Sosaku Kobayashi, saat melakukan "sesi wawancara" dengan Totto-chan sebelum masuk sekolah.
Lagi-lagi, Totto-chan bukan novel biasa yang hanya menceritakan hal-hal sehari-hari. Ia melampirkan kisah menggemaskan tentang cara mengajar Pak Kobayashi. Gaya "mengajar" dan "berpikirnya" yang unik terlihat pertama kali saat mewawancarai Totto-chan. Pak Kobayashi membiarkan Totto-chan berbicara banyak dan lama, selama empat jam, sambil secara tidak langsung menilai sifat dan kemampuan anak 7 tahun itu.
Tanpa fafifu, Pak Kobayashi menutup cerita Totto-chan dengan, "nah, sekarang kamu murid sekolah ini." Iya, sesederhana itu. Tidak perlu tes lain yang meribetkan guru, murid, dan walinya.
Fokus novel memang pada interaksi Totto-chan dengan lingkungannya. Terutama pada sikap orang-orang tua terhadapnya. Termasuk cara komunikasi ibu Totto-chan dan gaya mengajar Pak Kobayashi.
Sang ibu yang mampu menjaga kepolosan anak ciliknya. Sampai-sampai saat sudah besar, Totto-chan baru tahu bahwa pernah dikeluarkan semasa TK. Bayangkan, anak TK dikeluarkan dari sekolah. Gila ini, haha. Namun malah patut disyukuri, karenanya ia dapat masuk ke sekolah yang lebih baik dan keren sepanjang masa: Tomoe Gakuen.
Gaya mengajar Pak Kobayashi pun menarik. Bukan hanya demi sosial, tetapi juga pada fisik muridnya. Dirinya memastikan murid-murid mendapatkan gizi yang cukup. Dalam bab Santapan dari Darat dan Laut, dia secara tidak langsung meminta wali murid untuk menyediakan gizi terbaik buat anak-anaknya. Sebelum makan, beliau menginspeksi apakah menu yang dibuatkan para orang tua memang sudah ada di dalam kotak makan, kalau tidak, Pak Kobayashi bersama kru kantin akan menambahkannya.
Setelah itu, ia mengajarkan murid-muridnya untuk sadar penuh terhadap proses makan. Mereka diminta makan dengan pelan-pelan, bahkan sambil ngobrol kalau perlu.
Totto-chan penuh dengan hal remeh tapi hangat. Praktik pengasuhan dan pendidikan murid sekolah yang kalem, ramah, logis, dan menyenangkan. Lihat saja bagaimana Pak Kobayashi membiarkan Totto-chan sibuk mengambil kotoran dari lubang demi mendapatkan dompetnya kembali.
Ia puas karena telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari dompet itu. Kepuasan Totto-chan jelas adalah hasil rasa percaya diri yang ditanamkan Kepala Sekolah dengan mempercayainya dan tidak memarahinya. (hal. 59)
Jadi?
Totto-chan adalah buku yang layak dibaca. Dari sudut pandang mana pun, ia bukan sekadar cerita biasa. Penuh dengan teladan pendidikan. Lawas tetapi bakal tetap relevan.
Judul: Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
Penulis: Tetsuko Kuroyanagi
Alih bahasa*: Widya Kirana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 272 halaman
Tahun terbit: 2009 (cetakan kelima)