Kepergian Kedua, Sederhana yang Kaya
Awas, ada bocoran (spoiler).
Beberapa pekan lalu, saya beruntung banget, pas sedang pengin-penginnya baca buku karya Amanatia Junda, toko buku daring yang ada di Yogyakarta menawarkan paket buku Amanatia Junda. Dapat diskon lagi. Kalau mau intip akun IG-nya ini: @paperplanebookstore.
Sampai saat tulisan ini terbit, Amanatia telah menelurkan dua buku. Terbitan Buku Mojok. Yang pertama Waktu untuk Tidak Menikah dan yang kedua Kepergian Kedua. Waktu untuk Tidak Menikah (WUTM) sudah habis terbaca dan sudah saya ulas di artikel Menyimak Isu-isu Perempuan Lewat Cerpen; Haru dan Kesal, kini giliran Kepergian Kedua yang perlu dibabat habis.
Buku Kepergian Kedua (KK) terbit Januari 2020. Iya, masih gres. Hasil karya Amanatia sejak Agustus 2016 (naskah awal) lalu masuk penyuntingan di penerbit dua bulan. Impresi awal saat memegang buku ini adalah “keren ni buku”. Kovernya tebal, semacam berbahan karton dengan tekstur kasar (kalau di-zoom terlihat prentul-prentul). Ada pembatas buku yang menyajikan bahan yang sama.
Kalau di Waktu untuk Tidak Menikah saya mendapatkan bonus kartu pos, di KK saya memperoleh surat terima kasih berwarna coklat dari sang penulis. Amanatia yang mampir di warung pecel lele dan menganalogikannya dengan buku KK.
Daftar isinya lucu, karena setiap bab hanya berjudul pendek; Satu, Dua, Tiga, sampai Sembilan, penulisan daftar isi yang lurus tengah menjadikannya seperti garis lurus ke bawah.
KK adalah novela. Cerita yang lebih panjang dari cerpen tetapi lebih pendek dari novel. Membaca beberapa paragraf awal langsung membuat saya berpikir, “eh, ini Amanatia banget”. Khas.
KK menceritakan seorang Birrul Walidain, cucu laki-laki satu-satunya pasangan mendiang Yu Jariyah dan Wak Jauhari. Sebagai manusia yang disemati nama yang berarti “berbakti kepada orang tua”, Irul–nama panggilannya–menjadi pemikir yang diandalkan oleh ibu, pakde, maupun paklik untuk segala masalah yang terjadi di keluarga besar. Terpaksa maupun sukarela. Sebetulnya bukan karena namanya, tapi karena gender Irul dan pengalamannya melanglang sampai Jerman yang membuat keluarga besar percaya padanya.
Cerita membawa isu-isu terkini yang menarik. Termasuk dijualnya buku-buku bajakan di Gayut, kampung halaman Irul, karena buku-buku asli yang tak mungkin laku dijual di sana. Kisah ini mengingatkan saya pada polemik buku bajakan yang menjamur di Jogja. Sebagai antitesis dari argumen soal pelanggaran Hak Cipta, ada argumen lain yang lebih pro dengan pembajakan jika itu untuk membuka cakrawala orang-orang pinggiran. Buku itu mahal, tuturnya. Di Gayut mungkin juga terjadi seperti itu.
Isu lain yang tak asing adalah sentimen terhadap imigran di Eropa. Khususnya di Jerman, negara yang ditinggali Irul. Hingga membuat kekhawatiran lain dengan kehadiran lonewolf yang menyerang secara acak. Di luar itu–tapi masih di kultur negara yang sama–cerita pengasuhan anak (parenting) yang sangat menarik dituliskan di sini. Uwu.
Cerita mengalir. Sederhana. Tak berat. Menyenangkan. Apalagi dengan adanya Irul yang menggambarkan silsilah keluarga demi memudahkan pembaca membolak-balik halaman kala lupa siapa anak Pakdhe Kar atau Paklik Dar–daripada membaca penjelasan deskriptif yang membosankan.
Gambar silsilah keluarga ini saya yakin adalah tulisan tangan (hal. 27), dalam arti sebenarnya. Tulisan tangan yang didigitalisasi. Jadi bukan tulisan hasil ketikan. Antar huruf ‘a’ yang berbeda, begitu juga dengan huruf ‘y’ dan lainnya. Gambar silsilah benar-benar membantu, karena alur cerita juga kerap menyinggung siapa anak siapa, pakdhe mana yang pertama, siapa adiknya, dsb.
Konflik atau masalah di Kepergian Kedua sangat membumi dan manusiawi. Keributan keluarga dan pengiringnya. Irul yang menjadi penengah masalah menjadi pemicu stres saya. Berengsek betul. Membaca novela ini sambil berada di masalah keluarga yang itu-itu saja adalah ujian mental.
Saya penasaran dengan perasaan Amanatia saat menulis ini. Di acara yang diselenggarakan oleh Togamas Kotabaru, 5 Maret 2020 lalu, saya bertanya langsung kepada sang penulis. Apakah ia terpantik dengan cerita yang ditulis sendiri? Hal-hal yang terolah di kepala, tuturnya, jika itu sastrawi akan langsung ditulis. Kalau tulisan tersebut relate dengan pembacanya yaa bagus. Tapi, jadikan ia sumber tawa. Yaa, mari ketawa bareng!
Foto bareng Amanatia Junda di Togamas Kotabaru
Banyak sekali pesan dalam buku KK. Tak jarang, saya tersenyum sendiri. Salah satunya saat Irul mampu membantah saat ibunya berusaha menyetir kehidupannya. Anaknya sudah besar, sudah dapat menentukan jalan hidupnya sendiri.
Irul yang tangguh. Kehidupannya yang lebih “mengutamakan” orang lain mampu membuat hati terenyuh. Terutama saat ibunya mengutarakan “Kamu sudah pernah mengasuh bayi bule, nyebokin orang tua bule, dan mau kerja keras untuk anak yang sebenarnya bukan tanggung jawabmu. Ibuk doakan panjang rezeki dan umur ya, Rul.”
Ada lagi. Irul yang memperlakukan sang adik sepupu sebagai manusia. Bukan hanya perempuan kecil yang disetir oleh keluarga besarnya.
Aaah, melted …
Novela yang sederhana tetapi memiliki kisah yang padat. Sebagai penggemar cerita pendek dan cerita panjang (novel), KK begitu kaya. Alur yang tidak datar dan bagi saya tidak mudah ditebak. Cerita yang manusiawi. Tak khayali.
Namun, ada satu bagian kisah yang tidak begitu saya sukai: saat Paklik Dar menghilang.
Udah gitu … Minggir, saya mau pamer dulu.
Judul: Kepergian Kedua
Penulis: Amanatia Junda
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: vi + 108