Bahasa
Semakin besar akun media sosial, semakin makin banyak pula pengikutnya. Entah akun Instagram atau Twitter, bahkan di luar jagat media sosial itu sendiri, seperti blog maupun kanal YouTube.
Hampir selalu ada efek bola salju. Contohnya, nih, pada bulan Januari 2021 kamu menyukai kanal YouTube dengan pelanggan ribuan. Kontennya asyik. Bagus.
Suatu hari, satu video baru populer. Meledak. Dan hanya butuh beberapa pekan, pelanggan kanal melambung puluhan ribu. Pada bulan-bulan berikutnya, kenaikan tak sebanyak awal-awal populer, tapi peningkatannya lumayan konsisten. Hingga sekitar satu tahun kemudian, pelanggan kanal tersebut hampir menyentuh 1 juta.
Matamu terkejut. “Ruar byasa, dulu channel ini subscriber-nya cuma 5 ribu, tapi sekarang udah hampir 1 jeti.”
Namanya bola salju. Turunnya tidak hanya menabrak alas dan gumpalan salju lain, tapi juga menyerempet batu menjulang, pohon cemara, potongan kayu kering dan basah membusuk, dan mungkin menabrak bangkai kelinci salju yang baru mati dua hari lalu.
Begitu juga dengan para penolak. Timbul seketika, sejalan dengan kopopuleran seseorang yang tercermin dalam jumlah pengikut atau pelanggan akun maupun kanalnya. Omong-omong, saya sedang tak ingin menggunakan diksi “pembenci (hater)”, kata ini terlalu personal.
Ivan Lanin termasuk dalam kategori ini. Saya tidak tahu, sejak kapan akun Twitter-nya mulai melompat, semakin banyak pengikut, and beranjak populer. Tapi, karena kontennya yang konsisten, penjenamaan dirinya berhasil, pengikutnya banyak, jumlahnya selalu naik. Angka naik yang tak konsisten tidak begitu penting, karena faktanya memang selalu naik. Sempat turun tapi tidak signifikan.
Twitnya tentang bahasa Indonesia. Arti istilah dan penggunaannya, ejaan yang benar, hingga padanan kata bahasa asing ke bahasa Indonesia dan asalnya. Coba, intip saja langsung di Twitter @ivanlanin.
Penolaknya banyak. Kata mereka, Ivan Lanin dan lembaga Badan Bahasa dianggap sebagai entitas pemaksa penggunaan ejaan dan istilah Bahasa Indonesia. Bahasa seharusnya timbul tenggelam secara alami, begitu juga tulisannya, tapi kepala-kepala ini memaksa sesuatu yang tak pantas dipaksa. Dan merusak laku normal yang sedang berjalan.
Saya? Setuju dan tidak.
Saya tak setuju ketika kultur membenahi ejaan melahirkan ratusan bahkan ribuan polisi bahasa. Ketika muncul opini “jelek”, argumen untuk melawannya tak ada. Orang-orang malah fokus pada “di” yang dipisah dan tidak dipisah serta mengkritik “sekedar” yang seharusnya “sekadar”.
Disini, opiniku jelek? Sanggahanmu saja belum tentu bagus.
Iya jelek. Btw, Bang, “di”-nya dipisah.
Koreksian ejaanmu mirip gumpalan bulu yang sesekali dimuntahkan kucing. Bikin lega si makhluk berbulu, tapi menjadi tak berguna saat keluar dari perut.
Loh, memang keliru mengoreksi ejaan yang salah? Tidak, dong. Tidak keliru. Tapi harus tahu tempat. Bahas apa, responnya ke mana. Mirip jika suatu saat sedang mendebat orang lain, lawan debatmu merespon dengan komentar, “bajumu gak rapi”. Tidak berhubungan, kan?
Banyak twit informatif di luar pembenahan ejaan yang disampaikan Uda Ivan, jadi jangan harap melihat saya memencet tombol “berhenti mengikuti”. Sembari tetap membaca twit Ivan lanin, demi sedikit kelenturan, saya juga mengikuti akun Jarar Siahaan, lewat akun pribadi @ja_rar dan akun kebahasaan @spa_si. Menulis tanpa kaidah pasti, tapi tetap pantas. Sayang, akun beliau jarang, bahkan lama, tidak aktif.
Saya memang tak terlalu setuju dengan aktivitas membenahi ejaan, tapi saya sangat menyukai usaha untuk menciptakan dan mengusulkan padanan bahasa. Menjadikan istilah semurni bahasa lokal dan menjadikan serapan sebagai langkah terakhir untuk mengadopsi istilah.
Tapi, namanya manusia dengan beragam latar belakang dan pikiran, ada yang menganggap pencarian padanan kata adalah hal bodoh, sambil menyitir ucapan Noam Chomsky. “Bahasa tak hanya kata-kata. Ia adalah budaya, tradisi, penyatuan komunitas, seluruh sejarah yang membentuk komunitas itu sendiri. Semua terwujud dalam bahasa.”
Keluhan terhadap padanan kata termasuk yang berhubungan dengan sains dan teknologi. Kata download menjadi unduh dan kata upload menjadi unggah, misal.
Sudah sekitar dua tahun lebih, saya berkontribusi mengerjakan proyek pelokalan (L10N) bahasa perangkat lunak dan layanan daring. Daring (dalam jaringan) adalah online, kalau kamu belum tahu.
Dalam banyak kasus, bahasa Indonesia tidak sependek bahasa Inggris. Cek saja kata unseen (6 karakter) yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi tidak terlihat (14 karakter, 2 kata pula). Padanan kata sangat membantu di sini. Pada kata tertentu, kata padanan lebih hemat karakter daripada kata bahasa Inggris. Contohnya download (8 karakter) yang dapat dihemat menjadi unduh (5 karakter).
Terjemahan yang lebih panjang disandingkan dengan padanan kata yang lebih pendek adalah paduan seimbang dan cakep. Tapi ini tidak selalu terjadi, seringnya terjemahan dan padanan sama-sama panjang. Pintar-pintar penerjemah untuk menentukan susunan kata/kalimat yang mudah dimengerti dengan tetap memperhatikan batas kolom penerjemahan yang disediakan.
Juga, dalam pelokalan proyek tertentu, gaya selingkung lebih diutamakan dibandingkan penggunaan padanan kata. Sebagian proyek tetap menyertakan email alih-alih surel , sebagian tetap menggunakan login alih-alih masuk log atau masuk saja, sebagian tetap memakai print alih-alih cetak, dsb.
Banyak yang khawatir, padanan kata adalah usaha untuk mengatur orang-orang berbahasa. Ivan Lanin dan Badan Bahasa dianggap bertindak otoriter, mengekang. Padahal, layaknya bahasa pada umumnya, ia tumbuh dan berkembang sesuai penuturnya. Alami. Kata-kata di dalamnya bakal mati jika memang tak ada yang menggunakan.
Netizen hanya perlu berhenti mendominasi narasi pada setiap ruang dengan menjadi polisi bahasa. Asli, menyebalkan. Atau, usaha memadankan kata akan dianggap sebagai omong kosong belaka dan ikut-ikutan dianggap memuakkan.
https://www.youtube.com/watch?v=eOQ7aFm6gpo
Lagu Barasuara saya cantumkan suka-suka. Segala makna di sana tak terkait dengan cuapan saya kali ini.
[Foto oleh cottonbro di Pexels.com]