Kisah-kisah Jenderal, Rukun dan Konfliknya
Presiden kedua Indonesia, Soeharto, adalah seorang Mayor Jenderal (yang kemudian menjadi Jenderal Besar). Presiden pertama yang dipilih melalui Pemilu langsung, SBY, adalah seorang Jenderal. Dan yang terkini, Presiden Prabowo Subianto adalah seorang Letnan Jenderal. Itu hanyalah tiga dari Jenderal yang berperan di negeri ini -- di luar konteks peran yang normal maupun kontroversial.
Setelah melihat rekam jejak pejuang kemerdekaan dahulu hingga para presiden di atas, saya mengiyakan, ternyata besar sekali peran tentara (TNI, dahulu TKR), baik dengan jabatan perwira menengah sampai perwira tinggi. Peran yang secara murni timbul hingga peran yang dipaksakan ada.
Saya menemukan kisah seputarnya dalam buku berjudul Negeri Para Jenderal karya Petrik Matanasi. Buku yang pernah saya incar beberapa tahun lalu tetapi baru masuk ke rak baca saya belum lama ini. Tepat seperti judulnya, ia membawa kisah para jenderal di Indonesia, dari zaman prakemerdekaan hingga reformasi. Dibagi dalam lima bab yang masing-masing bab berisi 6 - 13 judul.
Negeri Para Jenderal dibuka dengan tabel jenjang pangkat dalam tubuh tiga matra TNI. Sangat lengkap. Ada lima periode perubahan; 1945-1957 (zaman masih TKR [Tentara Keamanan Rakyat]), 1957-1973, 1973-1990, 1990-1997, hingga 1997-sekarang. Tabel ini cukup membantu saat membaca isinya: misal saat membandingkan ketinggian pangkat antar tokoh atau antar generasi/periode.
Dengan sekelumit penjelasan, saya menjadi tahu, ternyata dibandingkan masa KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, kenaikan pangkat di TNI itu cepat sekali. Yang berefek hingga saat ini: membludaknya perwira menganggur sehingga terjadinya pemosisian tentara dalam jabatan sipil (ehem, dwi fungsi secara resmi maupun nonresmi). Bahkan hingga disebutkan, "surplus jenderal membuat TNI mirip tentara fasis Jepang zaman Perang Dunia II" (hal. 12).
Saya membayangkan perang bintang, perang yang juga sama-sama pernah terjadi dahulu -- meski belum sampai kelas "bintang" -- baik pada konflik kepentingan pribadi maupun karier. Seperti pada kisah Lubis vs Nasution, Prabowo vs Benny Moerdani, dan Kivlan Zen vs Wiranto (lihat bab 2). Topik perang ini salah satu yang bikin getem-getem saat dibaca. Tapi kalau saya ditanya topik paling favorit adalah soal Ali Murtopo. Aroma pengkhianatan dan agen gandanya sangat kental sekali.
Isi buku tidak begitu rumit, tapi tetap cukup seru. Tidak seperti buku sejarah yang hadir berjilid-jilid layaknya buku sejarah Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku. Perkisah disampaikan dalam bentuk potongan. Cukup wajar dan realistis, mengingat dalam 262 halaman, tidak mungkin penulis menjabarkan cerita banyak jenderal. Bisa jadi, jika penulis serius menuliskannya lengkap panjang-panjang, itu bakal menjadi buku sejarah kesekian yang terbit tak cukup 4 jilid.
Secara umum, saya menyukai buku ini. Ia seperti siap membuka wawasan pembacanya untuk mengulik lebih dalam lewat buku lain. Iya, Negeri Para Jenderal berisi kisah atau penjelasan yang pendek tapi membawa banyak rujukan yang siap ditelusuri lebih lanjut oleh kita, pembacanya. Sayangnya, konsep rujukan yang dipakai tidak begitu saya sukai. Ia bukan catatan akhir maupun catatan kaki, tapi justru berupa kalimat. Contoh:
Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 155) mencatat ... (hal. 133)
dan
... tulis Solemanto dan Aziz Ahmadi dalam Feisal Tanjung, *terbaik untuk rakyat terbaik bagi ABRI (1999: 613). (hal. 132)
Penulisan rujukan seperti itu terkesan mengejar target jumlah kata, padahal kalimat (yang merujuk sumber) dapat ditulis lebih ringkas dengan tambahan catatan akhir atau catatan kaki.
Kamu suka buku sejarah, terkhusus tentang militer di Indonesia? Gass kan saja buku ini.
Penulis: Petrik Matanasi
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: xx + 262 halaman
Tahun terbit: 2019