Menjadi Dewasa Itu

Semakin ke sini, Ramadan terasa semakin cepat, ya?

Pertanyaan yang sering saya dengar kemarin. Dari teman maupun seorang kenalan.

Mengapa begitu? Dari sudut pandang usia, semakin tua kita, semakin sibuk. Semakin banyak yang dipikirkan. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan. Sehingga hari terasa pendek, pekan terasa pendek, lalu satu bulan pun ikut makin terasa pendek. Itu salah satu alasan, alasan lain tergantung diri pribadi dan lingkungan menyikapi bulan Ramadan.

Dewasa menjadikan semua waktu terasa cepat, kecuali pekerjaan pada hari Senin yang melelahkan itu.

Menjadi dewasa memang tidak sederhana. Kamu menyukai orang yang tak menyukaimu. Lalu mengeluh. Pada lain waktu, ada seseorang yang menyukaimu, tetapi kamu tak menyukainya, lalu menolaknya. Hingga suatu saat kamu merasa bersalah sepenuhnya. Dewasa itu ternyata saling dipatahkan dan mematahkan.

Protes dipatahkan dan mematahkan bukanlah proses ringan. Ada memori yang harus ditinggalkan, ada memori yang harus dipendam--yang mungkin sewaktu-waktu akan timbul lagi sebagai memori ringan tak memberatkan.

Menjadi dewasa berarti mengorbankan banyak hal. Bulan ini saya dapat membeli satu dua buku tebal sebagai bahan bacaan. Bulan depan bisa jadi saya harus menanggalkan bacaan baru karena membantu ekonomi keluarga yang sedang surut, dan hal ini bisa jadi tidak terjadi sekali, berulang-ulang, berbulan-bulan.

Menjadi dewasa berarti bekerja sepenuh raga, menyelesaikan masalah-masalah rekan kerja yang bertumpuk. Sementara si rekan haha hihi tanpa pernah merasa bertanggung jawab terhadap masalah yang ia mulai. Menyebalkan sekali, bukan?

Sementara itu, menjadi dewasa juga berarti siap dituntut untuk lekas mapan, atau setidaknya berduit. Saat masih menganggur, ditekan untuk lekas bekerja, dikira tak berusaha, padahal sudah berkali-kali menyodorkan berkas lamaran tapi tidak tembus juga.

Menjadi dewasa berarti siap ditanyai, bertubi-tubi. Kapan nikah, kapan punya anak, kapan mati? Ia seperti usia yang harus merasakan pencapaian, atau kalau tidak, akan dijuluki manusia berhidup "cacat". Giliran belum menikah, dianggap memiliki uang banyak--tak terbatas. Padahal, seringnya uang terpakai untuk membantu pasangan-pasangan ini.

Menjadi dewasa berarti harus siap kehilangan teman. Baik karena sudah berbeda lingkaran, berbeda tujuan, maupun karena hutang yang tak dibayar. Sama-sama menyakitkan memang, tetapi, mau bagaimana lagi?

Sulit untuk menjadi seorang dewasa optimis sekarang ini. Banyak hal internal dan eksternal yang terlihat gelap. Apalagi, begitu banyak kebijakan pemerintah yang amburadul, yang ketika dikritik justru dibalas kekerasan dan fitnah keji dari pendengung. Kurang gelap apa coba?

Cuapan ini mungkin tak terasa optimis. Bisa jadi membuatmu manyun. Tapi mungkin juga, membuatmu termangguk-mangguk.

Tidak. Saya tidak mengajakmu untuk pesimis, pun saya tak mengajakmu untuk optimis. Menjadi dewasa berarti melihat sesuatu seperti apa adanya dahulu. Yang terjadi, terjadilah, sambil tetap mengusahakan sesuatu yang buruk tidak benar-benar terjadi. Semampunya. Kalau berakhir tak sesuai harapan, lagi, maka ya sudahlah.

Saat ini ditulis, suasana hati saya sedang sangat tidak baik-baik saja. Topik-topik dewasa itu lah yang menjadi penyebabnya--beberapa.

Jadi, buatmu yang sedang membaca ini, saya harap kamu baik-baik saja. Kalau pun sedang tak nyaman, tak enak hati, rasakan dulu. Terima. Resapi. Pahami. Lalu nikmati, apapun perasaan yang timbul setelahnya.