Eksil yang Berjuang, Eksil yang Pulang
Saya sudah bilang kemarin, Laut Bercerita ternyata adalah pembuka keinginan untuk membaca karya Leila Salikha Chudori lainnya. Pulang menjadi pilihan berikutnya. Di antara tumpukan buku-buku di toko buku, Pulang selalu menonjol dan menarik perhatian saya. Berulang kali. Ketika dompet sudah berisi sejumlah uang, Pulang pun lalu berada di tangan dengan hati senang.
Kisah padanya terlihat tidak asing. Pulang merupakan fiksi sejarah yang mengambil waktu semasa Orde Baru – Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soeharto – seperti yang ada pada kisah Laut Bercerita. Bedanya di sini: fokus kisah Pulang ada pada eksil atau tahanan politik pasca tragedi 1965.
Buku ini membawa saya ke Prancis. Negara yang sejarahnya juga begitu kelam hingga sampai derajat revolusi. Memang, seperti ada pesan tersirat dari sana. Seperti kelamnya Prancis yang dapat diubah pesat dengan pemenggalan raja dan para borjuis, Indonesia mungkin juga bisa seperti itu. Mungkin, lho, yaa.
Itu hanyalah “pesan” berdasar dugaan saya. Yang pasti, Pulang menyinggung sejarah Mei 1968 di Prancis sebagai referensi. Saat itu, mahasiswa memulai gerakan protes, kemudian merembet ke kaum buruh dan masyarakat umum. Mereka meminta pemerintah De Gaulle yang berkuasa sejak tahun 1958 untuk turun. Ternyata Mei 1968 menjadi gerakan protes terbesar pada abad 20 di negeri L’Hexagone itu.
Cerita yang disampaikan dipotong ke dalam bab-bab. Utamanya berdasarkan tokoh, tapi ada selipan kisah berdasarkan waktu (disampaikan dalam bentuk surat atau catatan harian). Selipan cerita berdasarkan surat tak begitu saya sukai, seperti terkesan meloncat tiba-tiba. Kadang, saat membaca potongan kisah dalam bentuk surat (biasanya ditulis dengan huruf miring), saya perlu mengintip cerita sebelumnya karena lupa sedang membahas apa.
Ada dua kisah yang paling saya sukai dari Pulang. Pertama, tentang Ekalaya (Ekalawya). Kedua, tentang petualangan Lintang mencari konten wawancara.
Ekalaya adalah salah satu tokoh dalam kitab Mahabharata. Seorang yang ingin berguru sebagai pemanah kepada Drona tetapi ditolak. Drona selama ini lebih mengutamakan sang murid kesayangannya, Arjuna. Ekalaya yang lebih jago daripada Arjuna pun akhirnya mau “berkorban” atas permintaan Drona dan berakhirlah status Ekalaya sebagai yang lebih unggul daripada Arjuna. Ekalaya be like, “its okay, gak papa”.
Kisah Ekalaya mengisi beberapa lembar dalam sebuah bab, dan itu cukup menarik. Paling tidak, dapat menjeda kisah sengsara yang dialami Dimas Suryo, yaa, meskipun sebenarnya Ekalaya adalah cerminan dari Dimas itu sendiri.
Petualangan Lintang yang sibuk mencari korban atau tokoh untuk diwawancarai cukup seru. Di sana tersirat protes terhadap sejarah yang dibelokkan, termasuk pada diorama G30S/PKI.
Juga betul-betul menguras emosi: tuduhan-tuduhan kepada para eksil yang didengar langsung oleh Lintang Utara. Rasa tegang dikuras habis-habisan saat adegan larinya putri Dimas Suryo dan kawan-kawannya itu dari kerusuhan 1998. Dag dig dug!
Pulang membawa sudut pandang baru untukmu yang selama ini hanya membaca sejarah dari satu sumber saja. Setidaknya, kisah di dalamnya menggambarkan satu sisi lain yang patut untuk disimak. Bagi yang asing dengan “alternatif” sudut pandang sejarah, Pulang bisa saja membawamu ke bacaan lain yang membahas hal serupa, yang lebih dalam.
Saya cukup puas dengan Pulang-nya bu Leila ini, dan tentu sepadan juga buat kalian yang kepengin baca karya-karya beliau.
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal: viii+461 halaman
Tahun terbit: 2012