Marbut Dibayar?
Marbut, atau orang biasa menyebutnya marbot, merupakan orang yang menjaga dan mengurus masjid. Lebih luasnya kadang diberi wewenang untuk menjadi ustaz TPA anak-anak.
Dahulu di masjid kampung saya, marbut terdiri dari orang luar kampung. Biasanya mahasiswa yang sedang menempuh kuliah S1 atau S2. Tidak dibayar tapi mendapatkan kompensasi berupa kamar untuk tidur. Boleh tinggal di masjid, dengan syarat harus membersihkan masjid serta kadang ikut mengurus pengajian rutin dan mengajar ngaji anak-anak.
Hal ini berubah sejak Covid 19. Dua marbut asal luar daerah terakhir yang mengurus masjid pulang ke kampung halaman untuk menikah. Jadi, selama beberapa bulan setelah mereka pergi, peran marbut digantikan oleh satu orang warga lokal. Kompensasi bukan diberikan dalam bentuk kamar untuk tidur melainkan berupa uang dengan nominal yang tidak cukup banyak. "Saya memang niat untuk ibadah," kata warga lokal, sekaligus saudara jauh saya sendiri, tersebut. Saudara jauh saya ini sebelumnya sudah memiliki pekerjaan tetap sehingga mengurus masjid merupakan aktivitas yang dilakukan saat senggang.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Setelah melakukan negosiasi yang cukup panjang, takmir masjid akhirnya merekrut dua orang warga lokal lain untuk dijadikan sebagai marbut, menggantikan peran yang dilakukan satu orang (saudara jauh saya) sebelumnya. Keduanya termasuk ke dalam tokoh masyarakat yang memang baru saja melepas statusnya sebagai buruh pabrik yang mendapatkan bayaran tidak tentu.
Dua marbut lokal baru ini mengurus masjid dengan tanggung jawab yang lebih banyak. Tidak hanya bersih-bersih, tetapi juga menjadi ustaz TPA dan menjadi imam tetap masjid. Dengan kompensasi berupa upah bulanan di bawah UMK (dulu UMR) Sleman.
Masalah dimulai
Semuanya berjalan normal, hingga terdengar isu bahwa dua marbut lokal meminta upah yang lebih tinggi kepada takmir -- minimal setara UMK (UMR) Sleman. Takmir mengeluh dan menyiratkan ketidaksetujuan.
Begitu pun dengan warga, banyak yang tidak setuju. Dalam bentuk rasan-rasan, "ibadah, kok, minta duit", begitu suara yang tersebar dari mulut ke mulut. "Lebih bagus pak Joni (samaran dari nama saudara yang berperan sebagai marbut sebelumnya), beliau mau mengurus masjid tanpa dibayar banyak."
Suara-suara ini timbul tenggelam. Kadang tak begitu masalah, tapi pada lain waktu, menjadi hal yang bikin orang bersungut-sungut.
Opini dan pendirian pribadi
Saya sebetulnya tidak perlu berpendapat, toh, saya tidak punya kapasitas apa-apa di tengah masyarakat, kecuali memang masalah tersebut sangat darurat untuk ditangani, seperti masa Covid 19 yang lalu. Namun, secara pribadi, saya memiliki pendapat kuat.
Latar belakang opini ini muncul karena ketidaktransparanan laporan keuangan masjid. Menurut laporan terakhir yang disampaikan bulan Februari lalu secara lisan, kas masjid sebanyak sekian puluh juta rupiah1 -- uang sebanyak itu buat apa, egee? Saya yakin, uang infak mingguan dan bulanan cukup besar untuk membiayai hal operasional yang tak seberapa. Katanya mau mengikuti Masjid Jogokaryan? Hiss.
Pertama.
Adalah tidak masalah jika ada marbut yang tidak ingin diupah (atau diupah minimal) karena niat untuk beribadah. Apalagi jika sang marbut sudah memiliki pekerjaan dengan gaji tetap. Sehingga mengurus masjid dijadikan sebagai aktivitas untuk mengisi waktu senggang. Untuk menyeimbangkan kegiatan duniawi pribadi dan aktivitas sosial ukhrawi.
Kedua.
Adalah tidak masalah jika ada marbut yang ingin diupah secara layak. Mereka menganggap marbut merupakan profesi dan menjadi pekerjaan penuh yang dilakukan sehari-hari. Mereka membersihkan dan mengurus kegiatan masjid, bukan menjual ayat. Sebagai sesama kelas pekerja, saya mendukung penuh tuntutan marbut yang seperti ini, terutama jika sang marbut tidak memiliki pekerjaan lain.
Sebagai penyeimbang, agar menjadi solusi menang-menang, pihak takmir masjid bisa membuat kontrak perjanjian layaknya perusahaan dengan pekerja profesional. Jangan tabu soal ini, toh untuk kebaikan bersama juga, kan?
Uang kas, yang merupakan infak dari warga sekitar dan musafir, tidak harus saklek untuk membangun masjid. Bantu warga sekitarnya juga, dong. Dari warga kembali warga, bukankah esensi infak untuk seperti itu? Katanya ingin mirip Masjid Jogokaryan, hisss.
-
Nominal tepatnya saya sensor, karena bikin melongo ↩︎